Senin, 17 Juni 2013

ALIRAN NICHIREN SOSHU AJARAN DAN TOKOH-TOKOHNYA

ALIRAN NICHIREN SOSHU
AJARAN DAN TOKOH-TOKOHNYA

Makalah dibuat untuk menyelesaikan tugas pada mata kuliah Buddhisme


url.jpg

Dosen Pembimbing: Hj Siti Nadroh, M. Ag
Oleh:
Ahmad Sobiyanto
NIM 1111032100027



PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA


2013
A.    Pendahuluan
Nichiren Shōshū (日蓮正宗) adalah sebuah aliran agama Buddha yang berasal dari Jepang. Pendiri ajaran ini, bernama Nichiren Daishonin, dianggap oleh penganut aliran ini sebagai Sang Buddha pokok. Sekte ini merupakan salah satu dari sekian banyak sekte Nichiren yang ada di Jepang. Sekte Nichiren Shoshu ini berpusat di Taisekiji, Fujinomia, propinsi Shizuoka, Jepang. Sekte ini juga menjadikan pewaris Dharma kedua, Nikko Shonin dan pewaris Dharma ketiga, Nichimoku Shonin, sebagai pendiri sekte Nichiren Shoshu.

B.     Sejarah Agama Buddha di Jepang
Agama Buddha masuk ke Jepang diperkirakan 853 atau 552 M. Ketika sebuah kerajaan kecil di Korea mengirimkan sebuah delegasi kepada Kaisar Kimmeo Tenno di Jepang. Di samping membawa berbagai hadiah, delegasi tersebut juga meminta agar kaisar dan rakyatnya memeluk agama Buddha. Suku Soga menerima agama ini, tetapi suku-suku lainnya menolak karena dianggap menghina kepercayaan dan terutama para dewa mereka[1].
Tokoh utama dalam penyebaran agama Buddha di Jepang adalah Pangeran Shotoku Taisi (547-621 M) yang naik tahta pada 593 M., yang peranannya dalam agama Buddha dapat disejajarkan dengan Raja Asoka di India. Ia juga menetapkan agama Buddha sebagai agama negara, menerjemahkan sendiri kitab suci Sadharma Pindarika, Vimalakirti dan Srimalasutra yang sangat berpengaruh dalam pembentukan filsafat Buddhis di Jepang hingga hari ini. Ia mengirimkan para ahli Jepang ke Korea dan Cina untuk mempelajari agama, seni dan ilmu pengetahuan. Pada tahun 607 M ia mendirikankuil-kuil Nara dan Haryuji yang merupakan kuil tertua dan masih berdiri hingga sekarang.
Akan tetapi perkembang pesat agama Buddha terjadi pada periode Nara (710-784), terutama karena banyaknya suku-suku berpengaruh dan bangsawan-bangsawan terpandang yang memeluk agama tersebut. Para penguasa pada waktu itu umumnya beranggapan bahwa agama Buddha dapat dijadikan sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat mereka. Periode Nara juga ditandai dengan munculnya beberapa aliran dalam agama Buddha di Jepang, baik yang besar maupun yang kecil, yang pada umumnya mengambil bentuk Cina. Di antara aliran-aliran tersebut yang ada hingga sekarang adalah aliran Hosso yang berpusat di Kofukuji dan Yakushiji, Kegon berpusat di Todaiji dan aliran Ristsu yang berpusat di Toshodaiji.
Di masa kekuasaan dinasti Heian (794-1185 M.) muncul usaha-usaha untuk memadukan kepercayaan dan tradisi asli Jepang dengan agama Buddha, antara lain melalui ajaran Saicho dan Kukai. Yang pertama, yang kemudian terkenal dengan sebutan Dengyo Daishi, mengajarkan bahwa sebenarnya dewa-dewa agama Buddha adalah sama dengan dewa-dewa dalam agama Shinto, yang disebut kami, sementara Kukai, yang selanjutnya terkenal dengan sebutan Kobo Daishi, mengajarkan bahwa dewa tertinggi dalam agama Shinto adalah sama dengan dewa tertinggi dalam agama Buddha sehingga tidak ada perbedaan antara pemujaan terhadap Buddha dengan pemujaan terhadap agama Shinto.[2]
Memasuki abad ke-13 M. Beberapa aliran baru muncul di Jepang, sejalan dengan perselisihan dan perebutan kekuasaan di antara para penguasa. Aliran-aliran baru tersebut antara lain Zen, Amida (Tanah Suci) dan Nichiren Soshu. Aliran Zen mempunyai jalur asal pada ajaran Boddhidharma di Cina dan diperkirakan masuk ke Jepang pada abad ke-6 M.. Aliran ini bertujuan untuk memindahkan pikiran Buddha secara langsung ke dalam pikiran para pemeluknya dan mengajarkan bahwa pencerahan hanya dapat diperoleh melalui pemikiran yang intuitif. Oleh karena itu aliran ini menekankan pada disiplin dalam melakukan samadi untuk mencapai pencerahan, dan menolak doa-doa atau kepercayaan erhadap ajaran juru selamat. Aliran ini terbagi menjadi dua golongan besar yaitu Soto Zen, dengan tokohnya Dogen, dan aliran Rinzai, dengan tokohnya Eisai (1141-1215). Aliran yang tersebut akhir berkembang di kalangan militer dan golongan aristokrat serta menjadi tulang punggung kelas penguasa dan militer, sementara yang pertama lebih banyak dianut oleh kalangan petani dan bergerak dalam kegiatan sosial, memiliki perguruan tinggi dan sekolah-sekolah yang cukup banyak. Karya utama Dogen yaitu “Mata Hukum Sejati”[3] ditulis dalam bahasa jepang sehingga semua orang dapat membacanya.
Aliran Amida atau Tanah Suci, mengemukakan suatu ajaran keselamatan dalam istilah-istilah yang sederhana, yaitu dengan percaya kepada Buddha secara mutlak dan dengan menyebut Amida orang akan memperoleh keselamatan. Aliran ini mendapat banyak pengikut di kalangan petani dan menjadi semacam agama messianis pada saat terjadi kemelut sosial. Objek pemujaannya adalah patung Amida Buddha, dilengkapi dengan patung bodhisatva Kwan On yang melambangkan kemurahan dan patung Daiseishi sebagai lambang kebijaksanaan.
Aliran Nichiren Soshu didirikan oleh Nichiren. Ajarannya bertujuan mengembalikan agama Buddha kepada bentuknya yang murni yang akan dijadikannya dasar bagi perbaikan masyarakat Jepang, dan menolak ritualisme dan sentimentalisme aliran Tanah Suci, melawan semua kesalahan, agresif, patriotis tetapi eksklusif.[4]

C.     Niciren Soshu
Salah satu sekte dalam agama Buddha yang mengakui Nichiren Daisyonin sebagai pendirinya dan Nikko Syonin sebagai pewaris hukumnya. Kuil pusat sekte ini terletak di Taisekiji di propinsi Syizuoka. Tahun 1872 dalam usaha mempersatukan negeri untuk tujuan perluasan ekonomi dan militer pemerintah Jepang mencoba untuk mengorganisasikan aliran-aliran agama Buddha yang terdapat di Jepang ke dalam tujuh sekte, dan merencanakan semua sekte yang mengakui Niciren sebagai pendirinya dilebur menjadi satu dengan sekte Niciren Syu yang berpusat di Minobu. Niciin Syonin, Bhikku tertinggi ke-54, menentang rencana ini. Sebagai gantinya, delapan kuil yang mengakui Nikko Syonin dan murid-muridnya bersatu di tahun 1876 dan menyebut diri mereka sekte Niciren kelompok Nikko. Akan tetapi karena beberapa anggota kelompok ini mengakui doktrin yang amat berbeda dengan Taisekiji, maka tahun 1900 Taisekij berdiri sendiri, mengambil nama sekte Niciren kelompok Fuji. Tahun 1912 mereka berganti nama menjadi Nichiren Soshu. Sekitar 1940 sebelum Jepang ikut dalam Perang Dunia II, pemeritah menginginkan agar semua sekte-sekte Nichiren dijadikan satu dalam pengawasan militer. Komperensi antara Bhikku dan penganut segera diadakan di Taisekiji dan memutuskan untuk menolak tuntutan itu. Sebagai hasil dari perjuangan bersama itu akhirnya Nichiren Soshu diperbolehkan untuk meneruskan kebebasannya untuk seterusnya. Sejak ada kebebasan beragama setelah perang, sekte ini mempunyai kesempatan untuk maju dengan pesat. [5]
Niciren Sosyu mengajarkan bahwa semua orang memiliki jiwa Buddha dan dapat mencapai kesempurnaan di dunia pada kehidupan sekarang dengan jalan percaya pada Mandala Pusaka, Dai Gohonzon. Lebih jauh lagi karena diri dan lingkungan hakekatnya tak terpisahkan, orang yang mencapai ke-Buddhaan secara berkelangsungan mempengaruhi lingkungannya menjadi tanah Buddha. Karena itu, Niciren Syosyu mengutamakan “Pertapaan untuk diri dan orang lain” (Jigyo Keta), menunjukan pencapaian kesadaran untuk diri sendiri dan penyelamatan orang lain, lingkungan dan dunia melalui proses kosenrufu, atau suatu upaya penyebarluasan Hukum Sakti. Berbeda dengan sekte Niciren yang lain yang hanya menghargai Sakyamuni sebagai pusaka pujaan dan Niciren Daisyonin sebagai Boddhisatva Agung. Niciren Syosyu menghormati Daisyonin sebagai perwujudan Buddha sejati yang muncul pada masa Mutakhir Dharma, dan Mandala Pusaka Gohonzon yang ditulisnya sebagai pusaka pujaan sejati untuk umat manusia di masa Mutakhir Dharma mencapai ke-Buddhaan. Sebagai tambahan, Niciren Syosyu mendefinisikan ajaran Sakyamuni sebagai Buddhisme pemanenan kurnia dimana hanya didapatkan bagi mereka yang telah menerima pembibitan kesadaran di masa lampau dan Namyohorengekyo yang diajarkan oleh Daisyonin sebagai Buddhisme pembibitan sejati pencapaian kesadaran Buddha dari seluruh umat manusia.[6]

D.    Tokoh dan ajarannya
Dalam Niciren Shosyu pewaris dari Hukum sejati diwariskan dari Niciren Daisyonin kepada Nikko Syonin, dan secara ketat diturunkan pada Bhikku-bhikku tertinggi berikutnya seperti tertera di bawah ini:
1.      Niciren Daisyonin                                     35.       Nicion Syonin
2.      Nikko Syonin                                            36.       Nikken Syonin
3.      Nicimoku Syonin                                      37.       Nippo Syonin
4.      Nicido Syonin                                           38.       Nittai Syonin
5.      Nicigyo Syonin                                         39.       Nicijun Syonin
6.      Niciji Syonin                                             40.       Nicinin Syonin
7.      Nicia Syonin                                             41.       Nicimon Syonin
8.      Niciei Syonin                                            42.       Nicigon Syonin
9.      Niciu Syonin                                             43.       Nisso Syonin
10.  Nicijo Syonin                                            44.       Nissen Syonin
11.  Nittei Syonin                                             45.       Nicirei Syonin
12.  Nitcin Syonin                                            46.       Nitcio Syonin
13.  Niciin Syonin                                            47.       Nissyu Syonin
14.  Nissyu Syonin                                           48.       Niciryo Syonin
15.  Nissyo Syonin                                           49.       Nisso Syonin
16.  Niciju Syonin                                            50.       Nicijo Syonin
17.  Nissei Syonin                                            51.       Nicieo Syonin
18.  Niciei Syonin                                            52.       Niciden Syonin
19.  Nissyun Syonin                                         53.       Nicijo Syonin
20.  Nitten Syonin                                            54.       Niciin Syonin
21.  Nicinin Syonin                                          55.       Nippu Syonin
22.  Nissyun Syonin                                         56.       Nicio Syonin
23.  Nikkei Syonin                                           57.       Nissyo Syonin
24.  Niciei Syonin                                            58.       Nitciu Syonin
25.  Niciyu Syonin                                           59.       Niciko Syonin
26.  Nicikan Syonin                                         60.       Nicikai Syonin
27.  Niciyo Syonin                                           61.       Niciryu Syonin
28.  Nissyo Syonin                                           62.       Nikkyo Syonin
29.  Nitto Syonin                                             63.       Niciman Syonin
30.  Nitciu Syonin                                            64.       Nissyo Syonin
31.  Niciin Syonin                                            65.       Nicijun Syonin
32.  Nikkyo Syonin                                          66.       Nittace Syonin
33.  Nicigen Syonin                                         67.       Nikken Syonin[7]
34.  Nissyin Syonin

a.       Tri Ratna Dalam Agama Buddha Niciren Syosyu
Salah satu konsep terpenting dalam Ajaran Agama Buddha adalah konsep Tri Ratna yakni: Buddha, Dharma dan Sangha.[8] Ketiga disebut Ratna ataua Pusaka karena ketiganya menduduki tempat amat terhormat dan dihargai. Pusaka Buddha bukanlah pusaka yang dimiliki oleh Sang Buddha atau pusaka yang dihargai oleh Buddha, tetapi adalah Sang Buddha itu sendiri. Kata Buddha menunjukkan seseorang yang mencapai kesempurnaan sebagai seorang manusia, dengan Maitri karuna yang maha agung dan besar untuk menyelamatkan penderitaan umat manusia, dan seseorang yang secara spiritual telah membangkitkan Hukum Kejiwaan dan Hukum Alam semetsta. Oleh karena itu, Buddha ditempatkan sebagai manusia yang paling dihargai dan dihormati.
“Dharma” berarti Hukum yang dibabarkan oleh Sang Buddha, yang diwariskan untuk masa mendatang melalui kebijaksanaan dan kekuatan-Nya. Dengan melaksanakan Hukum in, setiap manusia dapat mencapai Kesadara Buddha. Karenanya, Dharma juga patut ditempatkan kedudukannya sebagai Pusaka
“Sangha” adalaha sekelompok manusia yang mewariskan semangat Sang Buddha, menjaga Dharma dan menyebarkannya ke seluruh dunia dan untuk masa yang akan datang. Oleh karena itu, untuk penyebarluasan, melaksanakan dan mengajarkan Dharma dibutuhkan sumbangsih Sangha dengan demikian, Sangha juga dikatakan sebagai pusaka ketiga yang tak ternilai harganya.
Pada masa mutakhir Dharma ini, maka Tri Ratna dalam Agama Buddha Niciren Soshu adalah Niciren Daisyonin (Buddha), Dai Gohonzon (Dharma) dan Nikko Syonin (Sangh).
b.      Tiga Hukum Rahasia Agung
Terdiri dati: Pusaka Pujaan yang sejati (Jepang: Hon Mon No Honzon) ; mantera atau daimoku yang sejati (Honmon no Daimoku) dan altar pemujaan yang sejati (Honmon no Kaidan)[9]. Ketiganya menunjukkan inti Agama Buddha Nichiren Daisyonin dan dijelaskan dalam Ho On Syo (Surat Membalas Budi), San Dai Hiho Syo (Surat Perihal Tiga Hukum Rahasia Agung) dan dalam Gosyo-gosyo lainnya.
Pada umumnya Agama Buddha menjelaskan ketiga jenis pertapaan; Sila, Samadhi dan Prajna, yang merupakan usaha untuk penyempurnaan diri. Sang Buddha Niciren Daisyonin mendefinisikan tiga jenis pertapaan dalam Masa Mutakhir Dharma sebagai Tiga Hukum Rahasia Agung. Sila sesuai dengan altar pemujaan sejati, samadhi dengan Pusaka pujaan yang sejati (Gohonzon), sedang prajna dengan mantera atau daimoku yang sejati (Nammyohorengekyo).
      Pusaka pujaan yang sejati adalah Dai Gohonzon yang diwujudkan oleh Niciren Daisyonin pada tangga 12 Oktober 1279 yang memungkinkan setiap orang untuk mencapai kesadaran Buddha. Mantera atau daimoku yang sejati adalah Nammyohorengekyo, yang diucapkan dengan penuh kepercayaan di muka pusaka pujaan; dan altar sejati adalah tempat dimana seseorang menyebut Daiomoku (Nammyohorengekyo) di hadapan pusaka pujaan yang sejati. Karena mantera  Nammyohorengekyo dipanjatkan di muka pusaka pujaan, dan altar didirikan untuk menyemayamkan pusaka pujaan, maka pada akhirnya pusaka pujaan mencakupi ketiga Hukum Rahasia Agung, sehingga dapat disebut juga sebagai Satu Hukum Rahasia Agung. Niciren Daisyonin sendiri mewujudkan Mantera dan pusaka pujaan yang sejati. Beliau mempercayakan tugas kepada murid-murid-Nya untuk mencapai perdamaian dunia dan mendirikan altar sejati untuk pusat pemujaan bagi seluruh umat manusia.[10]
c.       Taisekiji
Merupakan Kuil PusatNiciren Syosyu yang terletak di Kota Fujinomya, daerah Shizuoka, di kaki gunung Fuji, didirikan oleh Nikko Syonin, penerus Niciren Daisyonin dan merupakan Bikkhu Tertinggi ke-2. Sesudah Sang Buddha Niciren Daisyonin wafat, Nikko Syonin tinggal di kuil Kuon di Minobu sebagai Bhiku Tertinggi. Akan tetapi, karena tindakan pemfitnahan Nakari Sanonaga, penguasa daerah Minobu, yang pernah menjadi murid Niciren Daisyonin dan bahkan memintanya untuk berdam di sana, maka Nikko Syonin meninggalkan Gunung Minobu pada musim semi tahun 1289. Pada tahun 1290 beliau mendrikan sebuah kuil kecil yang bernama Dai-bo di Oishighara, di atas sebidang tanah yang di sumbangkan untuknya oleh Nanjo Tokimitsu. Tanah sumbangan ini adalah awal dari terbentuknya Kuil Pusat Taisekiji. Sesudah itu, banyak kuil-kuil lain yang didirikan oleh murid-murid Nikko Syonin.[11]
      Gohozo didirikan oleh Nichiu Syonin, Bhikku Tertinggi ke sembilan. Dai Gohonzon disemayamkan di tempat tersebut dan dipindahkan ke Hoan-den tahun 1955. Pintu Utama yang Pertama disebut Somon, didirikan tahun 1522 oleh Nitchin Syonin, Bhikku tertinggi ke-21. Beliau juga membangun kembali Hondo (Kuil Utama) dan Miei-do. Tahun 1632 Bhikku Tertinggi ke-27, Nissei Syonin, membangun kembali Miei-do dengan dana yang disumbangkan oleh Kyodai-in, isteri dari seorang tuan tanah di Propinsi Awa, Pulau Shikoku. Tahun 1697 perpustakaan Sutra dibangun oleh Niciei Syonin, Bhikku tertinggi ke-24. Gerbang rangkap tiga Taisekiji dibangun oleh Bhikku tertinggi ke-25, Nichiyu Syonin, dengan dana dari Tennei-in, isteri Tokugawa Ienobu, Shogun Tokugawa ke enam. Ia juga membangun pintu yang disebut Onimon (Pintu Raksasa) atau Asahimon (Pintu Matahari Pagi). Tahun 1727 Josho-do dilengkapi oleh Bhikku tertinggi ke-28, Nissho Syonin, sehubungan dengan janji yang dibuat oleh Bhikku Tertinggi ke-26, Nichikan Syonin. 1749 pagoda lima tingkat ddirikan oleh Niciin Syonin, Bhikku tertinggi ke-31. Dai-bo dan Kyakuden terbakar pada bulan Juni 1945 di akhir Perang Dunia II. Sesudah perang, banyak bangunan didirikan, termasuk Hoan-Den, Dai-kodo, dan sejumlah kuil-kuil tempat tinggal dan tempat untuk peziarah. Dai Kyakuden selesai dibangun pada tahun 1964. Oktober 1972, Syohodo (Kuil Agung Utama) selesai dibangun untuk menyemayamkan Dai Gohonzon.[12]
d.      Ajaran-ajaran dari Nichiren Daishonin
1.      Nam-myoho-renge-kyo
Nam-myoho-renge-kyo berarti “Aku mengabdikan diriku terhadap kebenaran falsafah hidup yang tak terkatakan kedalam dan keindahannya yang dijelaskan di dalam Sutra Teratai yang mengandung ajaran Buddhisme yang paling luhur”.
Dengan kata lain perkataan, kata-kata itu menyatakan pengabdian dirinya kepada realitas hidup semesta-terhadap hidup yang ada dimana-mana dalam alam semesta. Nichiren Daishonin berpendapat bahwa hanya bilamana manusia menjadi satu dengan hidup dari alam semesta dia benar-benar mencapai kebahagiaan mutlak, yang tak tergoncangkan (alam ke-Buddha-an).
2.      Gohonzon
Untuk memberi manusia biasa suatu barang pusat pemujaan yang jelas, Nichiren Daishonin menciptakan ‘Gohonzon’ diamanatkan kepada setiap orang yang percaya pada Nichiren Daishonin dan ajaran-ajarannya yang benar. Sebagai suatu benda pusat pemujaan bagi semua orang di mana saja, dia mengukir Dai-Gohonzon Agung, yang kini ditempatkan di ruang utama Sho-Hondo dari Diseki-ji, kuil utama Nichiren Shoshu. Siapa pun yang tawakal pada Dai-Gohonzon dan mengucapkan Nam-myoho-renge-kyo kepadanya akan merasa roh perorangannya bergabung dengan roh semesta. Nam-myoho-renge-kyo bukan semata-mata bacaan; ini melibatkan doa-doa dan perbuatan-perbuatan pula.
3.      Teori ‘Kaidan’
Berdasarkan sejarah, kaidan adalah suatu balai Buddhis tempat para calon pendeta mengangkat nadar keagamaan. Dalam agama Buddhisme Nichiren Daishonin, ini mempunyai arti lebih banyak, merupakan tempat pusat pemujaan di mana semua orang dapat menyatakan kebulatan tekad mereka untuk mengubah hidup mereka untuk perbaikan mereka sendri dan seluruh umat manusia dan membersihkan diri mereka dari karma yang menyedihkan melalui kekuatan Dai-Gohonzon yang maha besar.[13]
            Falsafah Buddhisme Nichiren; Nichiren Daisonin memperkembangkan teori-teori;
1.      Tentang hubungan antara budi dan zat dalam jasad hidup dan menghasilkan istilah-istilah khas untuk menerangkan teorinya. Kata Shikiko berarti semua zat atau semua fenomena fisik. Kata shimpo berarti kerja pikiran atau cara berpikir. Kedua hal itu tidak dapat dipisahkan atau funi. Shikishin: gabungan dari bagian-bagian pertama dari Shiki-ho dan Shim-po funi, karena itu berarti keutuhan dari budi dan zat. Teori ini mencapai perkembangannya yang paling halus berhubungan dengan gagasan bahwa jiwa hidup meresapi segala sesuatu.
2.      Tentang hubungan antara lingkungan dan jasad. Untuk mengerti ini perlu mengetahui dahulu istilah Shoho berarti pokok, kedudukan subyektif, atau jasad hidup yang merupakan pokok. Eho adalah obyek, kedudukan obyektif atau lingkungan; ialah, obyek tanpa mana subyek Shoho tak akan dapat merupakan shoho. Shoho dan Eho adalah dua dan meskipun demikian bukanlah dua; keduanya adalah terpisah namun tak dapat dipisahkan. Jika Shoho adalah badan, eho adalah bayangan. Gagasan akan suatu dunia yang sama sekali tak bernyawa adalah dua segi dari suatu barang. Teori Nichiren mengajarkan bahwa shoho dan eho tidak dapat dipisahkan karena keduanya adalah jalan bagaimana kehidupan pokok menunjukkan dirinya.
Lingkungan atau eho, mengandung syarat-syarat yang membawa hidup ke dalam perwujudan yang diberi sifat khusus dalam bentuk shoho itu. Dengan lain perkataan lingkungan (eho) dan bentuk kehidupan (shoho) karena itu tidak dapat dianggap dua barang terpisah oleh sebab jiwa hidup hadr di mana-mana di seluruh alam semesta dan merupakan zat dasar utama dari keduanya. Nichiren Daishonin menjelaskan tentang alam semesta sebagai diresapi dengan hidup telah berabad-abad mendahului pengetahuan ilmiah; selanjutnya penjelasan itu lama berselang mengajar bagaimana manusia harus hidup selaras dengan lingkungannya, yang pada akhirnya adalah suatu bagian dari kehidupan semesta yang sama dari mana manusia pula merupakan suatu manifestasi. [14]
3.      Nichiren mengajarkan bahwa roh semesta meresapi segala sesuatu dalam alam semesta. Buddhisme tidak membuat perbedaan antara benda bernyawa dan benda tidak bernyawa tetapi membagi segala sesuatu di dalam alam semesta ke dalam wujud-wujud perasaan (ujo) dan tanpa rasa (hijo). Ujo berarti wujud yang mempunyai perasaan dan kesadaran; hijo berarti wujud-wujud tak mempunyai perasaan dan kesadaran. Ujo dapat mengandung hijo; ialah makhluk-makhluk perasaan mengandung unsur-unsur tanpa rasa. Dan hijo dapat menampilkan sifat perasa; meskipun emosi-emosi dan kesadaran masih dalam keadaan tidur, apabila diberi syarat yang tepat, makhluk-makhluk tanpa rasa dapat berkembang menjadi perasa. Wujud hayati dan nirhayati tidak lebih dari sementara, karena roh yang sama hadir di dalam perwujudan dalam kedua golongan. Bentuk hayati menampakkan hidup sedang berjalan, bentuk nirhayati menggambarkannya dalam keadaan latent.
Kesadaran Buddhist akan peresapan roh semesta pada semua perwujudan baik perasa maupun tanpa rasa, menuju ke kesadaran akan kekekalan hidup.
4.      Nichiren juga menguraikan tentang kesadaran manusia melihat dunia dengan berbagai cara yang dapat diringkaskan dalam tiga golongan pokok; 1. Pengamatan akan bentuk-bentuk sementara atau fenomena material (ketail), 2. Pengamatan akan kehampaan atau fenomena spiritual (kutai), 3. Pengamatan akan sifat hakiki dari benda-benda (chutai), yang menampakkan dirinya dalam kedua bentuk lainnya. In dikenal dengan teori santai. Ku dari Kutai adalah padanan dari kata Sunyata (skt.). pendek kata Ku berarti dunia kebenaran yang mutlak, tak terbatas yang tercapai dengan melampaui pandangan sesuatu yang relatif, hipotesis, konseptual, dan semua gagasan tentang eksistensi dan noneksistensi. Masing-masing dari ketiga cara itu mengandung kedua lainnya. Istilah en’yu-no-santai atau “jenis-jenis pengamatan, yang saling mengisi dan melengkapi” secara ringkas menyatakan persatuan ini. Teori ini diperkembangkan oleh Bhiksu Chih-i (538-597) pendiri sekte T’ien-t’ai Buddhisme d China. Di Jepang sekte Tendai (T’ien-t’ai) ddirikan oleh Bhiksu Saicho (767-822).[15]
5.      Ajaran Nichiren Daishonin juga berdasarkan dari Sekte T’ien-t’ai yakni Ichinen-Sanzen yang berarti secara harfiah ‘tiga ribu gagasan dalam satu saat tunggal’. Kata Ichinen berarti mikrokosmos. Kata sanzen dapat menunjang kepada banyak aspek yang berlainan yang dapat diambil oleh hidup semesta, ialah totalitas dari semua fenomena. Sanzen sebagai makrokosmos.
Apa itu tiga ribu? Penjelasannya ialah terdapat 10 alam eksistensi, yang harus dilalui makhluk-makhluk hidup di mana mereka menempatkan drinya. Tiap-tiap alam mengandung kesemuanya dari 10 alam dalam dirinya, jadi seluruhnya menjadi 100 alam. Terdapat 10 faktor pokok yang memberi ciri kepada semua barang (ju-myoze). Jadi 100 alam dikalikan 10 faktor menjadi 1000 alam. Dan setiap makhluk hidup dapat berhubungan dengan 3 lingkungan. Jadi jumlah alam eksistensi adalah 3000. Istilah ichinen sanzen berarti jiwa semesta yang terdapat dalam satu saat pikiran tunggal (ichinen) mengandung semua alam yang mungkin ada dalam alam semesta dengan cara ini atau saling berkaitan itu; mikrokosmos memenuhi makrokosmos, dan makrokosmos adalah tersirat dalam mikrokosmos.
Sepuluh Alam Hidup:
1.      Jigoku-kai (Neraka; lam derita),
2.      Gai-kai (kelobaan; alam yang menguasai orang dengan kerakusan),
3.      Chikusho-kai (kebinatangan; alam yang menyebabkan orang dikuasai oleh naluri-nalurinya),
4.      Shura (keberangan; alam yang menguasai orang dengan sifat persaingan),
5.      Nin-kai (kemanusiaan atau ketenteraman; keadaan biasa dari hidup),
6.      Ten-kai (surga atau sukacita; alam kebahagiaan),
7.      Shomon-kai (kesarjanaan; alam orang yang merasakan kebahagiaan berilmu),
8.      Engaku-kai (penciptaan; alam kejiwaan di mana orang menghargai kesenangan penciptaan),
9.      Bosatsu-kai (bodhisattva; alam yang menginginkan kebahagiaan bagi orang lain),
10.  Bukkai (cita Buddha; alam ke-Buddha-an).[16]
Kesepuluh Alam tersebut mengandung semua alam (10 alam) lainnya dalam dirinya. Ini berarti bahwa setiap alam, disamping semua alam lainnya mengandung alam ke-Buddha-an. Dengan kata lain bahwa semua orang dari semua jenis dan derajat mempunyai benih-benih Buddha untuk mencapai Cita Buddha. Jadi jumlah Alam 10 x 10 = 100 Alam.
Sepuluh faktor (syarat bereksistensi bagi semua makhluk dan tersirat pada semua benda);
-          Faktor        1. Nyoze-so (bentuk),
-          Faktor        2. Nyoze-sho (naluri),
-          Faktor        3. Nyoze-tai (wujud),
-          Faktor        4. Nyoze-riki (daya),
-          Faktor        5. Nyoze-sa (kegiatan),
-          Faktor        6. Nyoze-in (faktor penyebab dalam),
-          Faktor        7. Nyoze-en (faktor penyebab luar),
-          Faktor        8. Nyoze-ka (efek terpendam; latent),
-          Faktor        9. Nyoze-ho (efek nyata),
-          Faktor        10. Nyoze-honmatsu-kukyoto (perpaduan dari sembilan faktor lainnya).
Faktor 1, 2, 3, melukiskan realitas-realitas jasmaniah dan rohaniah dari hidup. Faktor 4 sampai dengan 10 menjelaskan cara bagaimana hidup itu berlangsung.
Tiga lingkungan/dunia (san-ken):
1.      Go-on Seken (dunia kesatuan; lingkungan Panca-Skandha),
2.      Shujo-Seken (dunia dari makhluk hidup),
3.      Kokudo-Seken (dunia dari lingkungan).
Jadi 10 Alam Hidup x 10 alam lainnya dalam dirinya x 10 faktor x 3 lingkungan/dunia = 3000 dari alam-alam ini ada pada satu saat eksistensi. Oleh karena itu setiap individu akan mampu untuk mencapai ke-Buddha-an.[17]

Daftar Pustaka
Edward Conze, Buddhism-A Short History, Jakarta: Karania (2010)
Majelis Agama Buddha Niciren Syosyu Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya Agama           Buddha Niciren Syosyu di Indonesia
Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta (IAIN Sunan Kalijaga Press: 1988)
Shoryo Tarabini, Perbedaan dan Persamaan Antara Nichiren Shu, Nichiren Shoshu dan                 Soka Gakkai, Perhimpunan Buddhis Nichiren Shu Hokekyo Indonesia
Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, Jakarta, Majelis Agama Buddha Mahayana        Indonesia




[1] Ali Mukti, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta (IAIN Sunan Kalijaga Press: 1988) cet. Pertama hal. 140-142
[2] Ali Mukti, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta (IAIN Sunan Kalijaga Press: 1988) cet. Pertama hal. 141

[3] Conze Edward, Buddhism-A Short History, Jakarta: Karania (2010) cet. 1 hal. 157
[4] Ali Mukti, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta (IAIN Sunan Kalijaga Press: 1988) cet. Pertama hal. 142

[5] Majelis Agama Buddha Niciren Syosyu Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya Agama Buddha Niciren Syosyu di Indonesia, hal. 20
[6] Majelis Agama Buddha Niciren Syosyu Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya Agama Buddha Niciren Syosyu di Indonesia, hal. 21

[7] Majelis Agama Buddha Niciren Syosyu Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya Agama Buddha Niciren Syosyu di Indonesia, hal. 22
[8] Tarabini Shoryo, Perbedaan dan Persamaan Antara Nichiren Shu, Nichiren Shoshu dan Soka Gakkai, Perhimpunan Buddhis Nichiren Shu Hokekyo Indonesia, hal 5
[9] Majelis Agama Buddha Niciren Syosyu Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya Agama Buddha Niciren Syosyu di Indonesia, hal. 23
[10] Ibid hal. 23
[11] Majelis Agama Buddha Niciren Syosyu Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya Agama Buddha Niciren Syosyu di Indonesia, hal. 24
[12] Ibid. Hal. 24
[13] T Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, Jakarta, Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, hal 522.
[14] T Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, Jakarta, Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, hal 525
[15] T Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, Jakarta, Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, hal 525
[16] T Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, Jakarta, Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, hal 526
[17] T Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, Jakarta, Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, hal 527

Tidak ada komentar:

Posting Komentar