Oleh lailatil Fawaidah
I.
Pendahuluan
Pada
awalnya agama Buddha tidak pernah mengembangkan suatu gerakan pengutusan,
dimana ajaran Buddha menyebar jauh dan luas di subbenua India dan dari sana agama Budha menyebar ke seluruh Asia. Di tiap
budaya yang ditemuinya, cara-cara dan gaya-gaya Buddha disesuaikan dengan watak
setempat, tanpa mengubah pokok-pokok penting tentang kebijaksanaan dan welas
asih. Namun, agama Buddha tidak pernah mengembangkan hierarki kekuasaan agama
dengan seorang pimpinan penguasa. Di setiap negara yang menerima ajaran Buddha,
mengembangkan bentuknya sendiri, struktur agamanya sendiri, dan pimpinan
rohaninya sendiri.[1]
Akibat adanya penyebaran ajaran Buddha, maka terjadilah akulturasi. Akulturasi ini sendiri merupakan hal yang sudah wajar terjadi selain karena ajaran Buddha yang memiliki nilai toleransi tinggi, juga karena tidak ada satu agama pun yang memiliki hak untuk memaksakan ajaran maupun tradisinya kepada masyarakat dengan tradisi setempat. Penyebab kedua terbentuknya aliran-aliran yang berbeda dalam agama Buddha adalah karena adanya perbedaan persepsi, dan ini pun juga adalah hal yang wajar. Sebagai sebuah ajaran yang bersumber pada pengalaman manusianya sendiri, sudah tentu banyak persepsi yang muncul selama kurang lebih 2500 tahun. Saat ini terdapat 3 aliran utama dalam Buddhisme di dunia, yaitu:
Akibat adanya penyebaran ajaran Buddha, maka terjadilah akulturasi. Akulturasi ini sendiri merupakan hal yang sudah wajar terjadi selain karena ajaran Buddha yang memiliki nilai toleransi tinggi, juga karena tidak ada satu agama pun yang memiliki hak untuk memaksakan ajaran maupun tradisinya kepada masyarakat dengan tradisi setempat. Penyebab kedua terbentuknya aliran-aliran yang berbeda dalam agama Buddha adalah karena adanya perbedaan persepsi, dan ini pun juga adalah hal yang wajar. Sebagai sebuah ajaran yang bersumber pada pengalaman manusianya sendiri, sudah tentu banyak persepsi yang muncul selama kurang lebih 2500 tahun. Saat ini terdapat 3 aliran utama dalam Buddhisme di dunia, yaitu:
1. Theravada
(baca: The-ra-wa-da) Sebagai aliran yang memegang teguh Dharma Winaya sesuai
kitab Tripitaka Pali. Oleh karena itu disebut juga sebagai ajaran para sesepuh
atau juga Early Buddhism (Buddhisme Awal). Theravada berkembang di Asia
bagian selatan (Sri Lanka) dan Asia Tenggara.
2.
Mahayana Sebagai ajaran yang berkembang pesat di Asia bagian timur (khususnya)
dan seluruh Asia (umumnya)
3.
Vajrayana atau Tantrayana Sebenarnya merupakan bagian dari Mahayana namun
memiliki perbedaan doktrin maka terbentuklah aliran ini. Pada mulanya merupakan
akulturasi antara ajaran Buddha dengan kebudayaan dan tradisi Tibet.[2]
I.
Budhisme di Korea dan Thailand beserta aliran-alirannya
Sejarah awal masuknya Buddha di Korea
Awal catatan sejarah menyatakan
bahwa ada tiga kerajaan di Korea, yaitu Koguryo
di utara, Packche di barat daya dan Silla
di tenggara. Menurut tradisi, seorang biarawan Cina pada paruh kedua abad keempat Masehi dimana pertama
kali diperkenalkan Buddhisme untuk kerajaan di sebelah utara dari Koguryo. Seorang bhikkhu Asia Tengah dikatakan telah membawa Buddhisme untuk Packche. Beberapa waktu
kemudian, Kerajaan silla ini merupakan wilayah yang paling terpencil dan pada awalnya tidak siap untuk menerima Buddhisme. Orang-orang memegang teguh
keyakinan agama tradisional mereka.
Kemudian ada oposisi yang kuat seperti agama Buddha bahwa
seorang bhikkhu yang pergi ke sana untuk menyebarkan ajaran Buddha dikatakan telah tewas. Akhirnya,
pada pertengahan abad keenam, bahkan orang-orang Silla menerima Buddhisme.
Penyebaran agama Buddha di korea
Selama abad keenam dan ketujuh, banyak biksu Korea pergi ke
Cina untuk belajar dan membawa kembali dengan mereka ajaran dari berbagai sekolah Cina Buddhisme. Menjelang akhir abad ketujuh, tiga kerajaan
tersebut bersatu di
bawah penguasa kerajaan Silla kuat. Sejak saat itu dan
seterusnya, Buddhisme berkembang
di bawah patronase kerajaan mereka.
Besar karya seni diciptakan
dan biara-biara megah dibangun. Buddhisme memberikan
pengaruh yang besar pada kehidupan
orang-orang Korea. Pada abad kesepuluh, aturan Silla
berakhir dengan berdirinya Dinasti Koryo. Dalam
aturan baru ini, Buddhisme mencapai puncak pentingnya. Dengan dukungan kerajaan, lebih biara dibangun dan
lebih karya seni yang dihasilkan. Seluruh Tripitaka dalam
terjemahan Cina juga diukir pada blok
cetak kayu. Ribuan
blok ini dibuat pada
abad ketiga belas dan telah
dengan hati-hati diawetkan untuk hari ini sebagai bagian dari harta nasional
Korea.
Periode pemberantasan di korea
Sesuai dengan aturan baru dari Dinasti Yi dari akhir abad
keempat belas sampai awal abad kedua
puluh, Buddhisme kehilangan
dukungan dari pengadilan ketika Konfusianisme menjadi
agama resmi di negara. Tindakan yang diambil
untuk menekan kegiatan komunitas
Buddhis. Biksu Buddha dilarang
untuk memasuki ibukota, tanah mereka disita, biara-biara
tertutup dan Buddha upacara dihapuskan. Meskipun
semua masalah masa sulit, ada kadang-kadang beberapa bhikkhu besar yang terus menginspirasi para pengikut mereka dan terus Buddhisme hidup
Kebangkitan Buddhisme di Korea
Dengan runtuhnya Dinasti
Yi, Korea berada
di bawah kendali Jepang. Orang
Jepang yang datang ke Korea
memperkenalkan bentuk mereka sendiri Buddhisme, yang termasuk tradisi ulama
menikah. Akibatnya, beberapa biarawan di Korea memisahkan diri dari tradisi mereka selibat.
Dari periode ini dan seterusnya, ada kebangkitan agama Buddha di Korea. Banyak umat Buddha di Korea sejak itu aktif terlibat dalam mempromosikan kegiatan pendidikan dan misionaris. Mereka telah mendirikan universitas, mendirikan sekolah-sekolah di berbagai belahan Korea dan mendirikan kelompok dan organisasi pemuda awam. Teks Buddhis, asal dalam terjemahan bahasa China, sekarang sedang diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Korea modern. Biara-biara baru sedang dibangun dan yang lama diperbaiki. Hari ini, Buddhisme lagi memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat.[3]
Dari periode ini dan seterusnya, ada kebangkitan agama Buddha di Korea. Banyak umat Buddha di Korea sejak itu aktif terlibat dalam mempromosikan kegiatan pendidikan dan misionaris. Mereka telah mendirikan universitas, mendirikan sekolah-sekolah di berbagai belahan Korea dan mendirikan kelompok dan organisasi pemuda awam. Teks Buddhis, asal dalam terjemahan bahasa China, sekarang sedang diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Korea modern. Biara-biara baru sedang dibangun dan yang lama diperbaiki. Hari ini, Buddhisme lagi memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat.[3]
Sejarah awal masuknya Buddha di Thailand
Manurut legenda, agama Buddha masuk
ke Thailand sekitar abad ke-3 S.M. ketika Raja Asoka mengirimkan dua orang
Bhikku ke sana yang diterima oleh suku Mosn yang mendiami kota Burma dan
Thailand. Sampai abad ke-7 corak agama
budha itu masih berkembang di Thailand yang dipengaruhi oleh aliran Theravada,
kemudian pada abad ke-8 yang awalnya dari aliran Theravada menjadi aliran
Mahayana, Terutama yang berasal dari kerajaan Sriwijaya, mulai kelihatan
bersamaan dengan masuknya unsure-unsur agama Hindu di Thailand Timur. Pada permulaan abad ke-13, terjadi penyebaran agama Buddha yang
kedua kalinya, dimana perkembangan yang kedua ini masuk ke wilayah
Burma,Thailand,Kamboja dan Tibet. Dan penyebaran kedua ini mengandung dua aspek
yaitu:
Ø pemeliharaan dan,
Ø tranmisi sentral ide aliran
Theravada, yang dikenal dengan Abidharma.
dan masuknya aliran ini
diwarnai dengan warna lokal serta dimasukan kedalam situasi kultural dari
beberapa negeri yang dijadikan satu kedalam tradisi Abhidarma, sehingga ada
cirri-ciri tersendiri dalam agama Buddha aliran Theravada yang membedakan dari
satu Negara dengan Negara lainnya. Raja-raja Thailand itu menggunakan
gelar “Rama” dan memberikan perhatian yang besar terhadap perkembangan agama
Budha, lebih dari itu, hubungan antara raja dengan sangha juga sangat baik.
Dimana Raja sebagai pengawas dan pelindung dari sangha. pada masa raja Rama I, Kitab Tripitaka berhasil dituliskan
pada daun palma. Ia mengumumkan kepada rakyat Thailand agar membersihkan sangha dari anggota-anggota
yang tidak berguna, memurnikan praktek kewiharaan dan meningkatkan studi dan
meditasi, dirintisnya pula tradisi bagi raja-raja Thailand untuk menjadi
anggota sangha beberapa lama sebelum menjadi raja Rama ke-IV, yang tersebut
Mongkrut, terkenal dalam pembaharuan pemikiran keagamaan. Ia mengadakan
reformasi dan penafsiran kembali ide-ide Buddha menurut pemikiran Barat yang berkembang pada waktu itu. Salah satu usaha
pembaharuannya adalah membentuk aliran sangha yang dikenal dengan Dharmayutika
yang menekankan bahwa ajaran agama Buddha tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern. Sebagai
mantan bhikku, ia berhasil meningkatkan kehidupan sangha telah kehilangan
gairah dan membersihkannya dari unsur-unsur yang bertentangan dengan ideasli
agama Buddha. Dimasa modern, Rama IV pada tahun (1910-1925) adalah Raja
Thailand yang memebrikan warna Buddhis
bagi Thailand. Ia menegakkan soko-guru bagi persatuan kelangsungan dan
identitas Thai, yaitu: bangsa, agama dan raja. Agama Buddha merupakan agama
nasional dan sebagaian besar orang Thailand menjadi orang Thai berarti pula
menjadi penganut Buddha.Berdasarkan tiga soko-guru yang dijadikan dasar persatuan Thialand
tersebut perkembangan agama Buddha berjalan dengan pesat sejalan dengan
perkembangan masyarakat Thai di zaman modern. Banyaknya Thai yang menjadi
bhikku tersebut adalah karena faktor tradisi yang sudah lama berlaku yaitu
bahwa seorang lelaki harus menjalani hidup sebagai bhikku selama masa phasa,
atau tiga bulan sepanjang hujan, di salahsatu wihara, sebagai suatu upacara
peralihan antara masa remaja dan masa perkawinan. Selain itu, factor pendidikan
yang disediakan sangha juga telah mendorong orang-orang Thai memasuki sangha, terutama dari kalanagan rakyat biasa dan
orang-orang miskin. Fasilitas-fasilitas pendidikan yang diberikan oleh sangha
ini, baik yang berupa pendidikan agama ataupun pendidikan umum yang disesuaikan
dengan kurikulum yang berlaku di sekolah-sekolah negeri, telah membuka banyak
kemungkinan bagi rakyat Thailand pada umumnya untuk meningkatkan diri sekalipun
mereka memiliki kemampuan yang terbatas dalam masalah keuangan dan kesempatan. Sangha memang sebagai peranan yang sangat penting dalam kehidupan
agama di Thailand. Inti dari sangha adalah para bhikku yang tlah menjalani
khidpan kebikhuan selama 10 tahun atau lebih dan menjadikan agama sebagai
bagian dari kehidupa mereka. Sepanjang sejarah negeri Thai, pemerintah menyadari pentingny apara
sangha dalam masyarakatdan peranan agama sebagai pemesatu bangsa. Maka dari iru
pemerintah mengawasi sangha dan menempatkannya di bawah supervise pemerintah
dengan membentuk hirarki sangha yang bersifat nasional sehingga pengaruh pemerintah cukup menentukan. Sangha
dan Bhikku sebagai perorangan tidak diharapkan memerankan peranan politik yang
lepas apalagi yang bertentangan dengan Negara. Pemerintah mempergunakan hirarki
sanghatersebut sebagai alat untuk integrasi nasional serta pembangunan bangsa
dan Negara Thai sampai sekarang.[4]
II.
Budhisme di Jepang dan
aliran-alirannya (Zen, Amida/tanah suci, Nichiren Sozu).
Agama Buddha yang dalam bahasa Jepangnya disebut Bukkyo (Butsu : Buddha, Kyo:
ajaran) dipercaya mulai masuk ke Jepang lewat kerajaan Baekje di Korea sekitar
tahun 538. Agama Buddha masuk ke Jepang
pada abad ke-6 atau tahun 853 atau 552 M.[5]
dimana menurut cerita , pada waktu itu raja Korea mengirimkan Kepada Kaisar
Kimmei Tenno di Jepang sebuah patung
Buddha yang terbuat dari emas dan perunggu, dan beberapa Kitab Sutra, alat
pemujaan, dengan disertai permintaan
untuk menerima agama Buddha. Kemudian Kaisar Kimmei Tenno mencobanya untuk
menerima agama Buddha sekalipun awalnya ada pertentangan yang hebat akan tetapi
lama kemudian agama Buddha dapat berkembang dengan baik.[6] Suku yang menerima agama Buddha yang diminta
oleh raja Korea itu adalah Suku Soga dan yang menolak Agama Buddha di Jepang
adalah Suku-suku lainnya dimana mereka menolak dengan alasan karena menganggap
menghina kepercayaan terutama pada para
dewa mereka.
Tokoh utama yang menyebarkan agama Buddha di
jepang adalah Pangeran Shotoku Taishi pada tahun (547-621), pangeran ini tahta
pada tahun 593 M., dimana peranan agama Buddha yang ada di Jepang dapat
disejajarkan dengan Raja Asoka di India. pada masa Pangeran Shotoku Taishi, Ia
juga menetapkan agama Buddha sebagai
agama Negara, serta menerjemahkan sendiri kitab suci Sadharma Pindarika,
Vimalakirti dan Srimalasutra yang sangat berpengaruh dalam
pembentukan filsafat Buddhisme di Jepang sampai hari ini. ia juga mengirimkan
para ahli Jepang ke Kora dan cina untuk mempelajari agama, seni dan ilmu
pengetahuan. Pada tahun 607 M. ia mendirikan kuil-kuil di Nara dan Haryuji yang
merupakan kuil tertua dan masi berdiri hinnga sekarang. Dan perkembangan pesat agama
Buddha terjadi pada periode Nara (710-784), terutama karena banyaknya suku-suku
berpengaruh dan bangsawan-bangsawan terpandang yang memeluk agama tersebut. Para
penguasa pada masa itu beranggapan bahwa
agama Buddha dapat dijadikan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat
mereka. Dan pada periode Nara ini juga ditandai dengan munculnya beberapa
aliran dalam agama Buddha di Jepang, diantara aliran-aliran tersebut yang ada
hingga saat ini adalah aliran Hosso yang berpusat di Kofuji dan Yakushiji,
aliran Kegon berpusat di Todaiji dan
aliran Ristu yang berpusat di Toshodaiji.
Dimasa kekuasaan dinasti Heian pada yahun (794-1185 M.) muncul
usaha-usaha untuk memadukan kepercayaan dan tradisi Jepang dengan agama Buddha, antaralain melalui
ajaran Saicho dan kukai. Yang pertama, yaitu Saichoyang kemudian terkenal
dengan sebutan Dengyo Daishi, mengajarkan bahwa sebenarnya dewa-dewa agama
Buddha adalah sama dengan dewa-dewa dalam agama Shinto, yang disebut Kammi,
sementara Kukai, yang selanjutnya terkenal dengan sebutan Kobo Daishi, yang
mengajarkan bahwa dewa tertinngi dalam agama Shinto adalah sama dengan dewa
tertinngi dalam agama Buddha sehinnga tidak ada perbedaan antara pemujaan
terhadap Buddha dengan pemujaan terhadap agama Shinto Ketika memasuki abad ke-13 M. beberapa aliran
baru muncul di jepang, sejalan dengan perselisihan dan perebutan kekuasaandi
antara para penguasa, atau sejak pada tahun 624 timbullah mazhab/aliran-aliran
yang bermacam-macam di Jepang.Aliran–aliran baru tersebut anatara lain aliran Cha’an yang di
Jepang disebut dengan Aliran Zen, aliran Amida (Tanah Suci), dan Nichiren Sozu.[7]
v
Zen
Aliran
Ch’an atau Zen masuk ke Jepang kira-kira tahun 1200, ada yang mengatakan
kira-kira abad ke-6 M. aliran ini mempunyai jalur asal muasal dari ajaran
Boddhidarma di Cina, dimana aliran ini mempunyai tujuan untuk memidahkan
pikiran Buddha secara langsung ke dalam pikiran para pemeluknya dan mengajarkan
bahwa pencerahan hanya dapat diperoleh melalui pemikiran yang intuitif. Oleh
karena itu aliran ini lebih menekankan pada displin dalam melakukan samadi
untuk mencapai pencerahan, dan menolak doa-doa atau kepercayaan terhadap adanya
juru selamat. Aliran ini terbagi menjadi dua golongan besar yaitu: Soto Zen,
dengan tokohnya yang bernama Dogen( (19 January 1200 - 22 September 1253) yang
merupakan seorang guru Zen termasyur di Jepang. Tokoh ini pernah lama belajar
dan memperdalam ilmunya di negeri China.
Peninggalan salah satu kuil Zen yang sangat
terkenal yaitu Eiheiji Temple di Perfecture Fukui, dimana disitu terlihat jelas
refleksi dari ajaran Zen tersebut...
Dan yang kedua aliran Rinzai dengan tokohnya yang bernama Eisai. Aliran yang
tersebut akhirnya berkembang di kalangan militer dan aristocrat serta menjadi
tulang punngung kelas penguasa dan militer. Sementara yang pertama yaitu aliran
Soto Zen itu lebih banyak dianut oleh
kalangan para petani dan bergerak dalam kegiatan social, yang memiliki perguruan
tinggi dan sekolah-sekolah yang cukup banyak.
v
Amida/tanah
suci
Aliran ini (Amida atau Tanah Suci)
mengengemukakan suatu ajaran keselamatan yang dalam istilah-istilah sederna,
yaitu: percaya kepada Buddha secara mutlak. dan dengan menyebut Amida orang
akan memperoleh keselamatan. Aliran ini mendapat banyak pengikut di kalanagan
petani dan menjadi agama messianic pada saat terjadi kemelut social. Dan objek
pemujaan aliran ini adalah patung Amida Buddha, yang dilengkapi dengan patung
bodhisatwa Kwan On yang melambangkan kemurahan dan pating Daiseishi sebagai
lambing lambing kebijaksanaan.
v
Nichiren
Sozu
Sekte ini lahirdi Jepang oleh
pendirinya Nichiren Sozu Daishonin pada tahun (1222-1282) yang asal mulanya
dari sekte Tendai (Jep.) (T’ien-t’ai). Beliau anak dari keluarga nelayan yang
miskin, tinggal di desa kecil yang bernama Kominato, Tojo daerah Nagasa
propinsi Awa (prefecture Chiba Modern), Ia dilahirkan pada tanggal 16 Februari
1222 Dia menjadi murid Dozenbo (12 mei 1233) di kuil koyosu-mi-dera yang
terletak di atas Gunung Kiyosumi. Dalam ruang Buddha dari kuil itu terdapat
ruphang Bodhisattva Kokuzo (Bodhisatva dari angkassa, karena kearifannya seluas
angkasa). Dia bernazar di hadapan Bodhisatva ini bahwa kelak dia akan menjadi
seorang yang paling bujaksana di Jepang.
Pada usia 15 tahun dia di-upasampada-kan menjadi sramanera. Dengan
seijin gurunnya Dozenbo, Nichiren Daishonin (dalam usia 17 tahun ) pergi ke
tempat lain untuk pelajaran Buddhism yang lebih dalam. Pertama-tama dia pergi
ke Kamakura, hanya 4 bulan, dia belajar disini. Kemudian ia kembali lagi ke
Kiyosumi-dera. Selanjutnya ia pergi ke kuil Enryakuji yang terletak di atas
gunung Hei, tempat ini di anggap pusat terpenting ilmu pengetahuan Buddhism di
Jepang (Tendai: T;ien-t’ai) pada waktu itu selama 12 tahun dia belajar. Pada tahun 1253, Nichiren Sozu Daishonin kembali ke kuilnya
Kiyosumi-dera. Beliau dalam usia 30 tahun menyatakan hasil dari pelajarannya
dan pengalamannya dengan keyakinannya bahwa ‘Sutra Teratai’ (Saddharma
Pundarika Sutra, Hokkekyo) dan mantera ‘Nam-myoho-renge-kyo’ merupakan inti
sari dari Sutra Taratai. Dan Sutra Teratai adalah jantung dari agama Buddha
Shakyamuni di zaman Mappo (Mo Fa) atau
Hari kemudian mrnjadi Hukum.[8] Nichiren Shō Shū yang artinya
Sekte Benar Nichiren, Nichiren Sozu ini didirikan pada tahun 1253 oleh pendeta
Nikkō, murid pendeta Nichiren. Sekte Nichiren adalah salah satu sekte Buddha
yang cukup unik. Keunikannya adalah sekte ini adalah tidak melakukan
penyembahan ke arca Buddha seperti yang umum dilakukan pada tradisi Buddha
lainya. Sebagai gantinya mereka meletakkan Mandara, tulisarn atau huruf Jepang
yang berisikan mantra atau tulisan suci yang dikeramatkan. Ajarannya Nichiren Sozu ini bertujuan
mengembalikan agama Buddha kepada bentuknya yang murni yang akan dijadikannya
dasar bagi perbaikan masyarakat Jepang, dan menolak ritualisme dan simentalisme aliran Tanah
Suci, melawan semua kesalahan, agresif, patriotis tetapi eksklusif.Selain ketiga aliran
besar di atas, pada abad ke-14 muncul aliran keagamaan yang bercorak Shinto
yang di padukan dengan agama Buddha dan Konfusianisme dengan nama Yosidha
Shinto. Menurut aliran ini, agama Buddha dapat di anggap sebagai bunga dan
buah dari semua dharma di ala mini, Konfusianisme sebagai cabang rantingnya,
dan agama Shinto sebagai akar dan batangnya.
Pada
masa Tokugawe yang dikenal sebagai masa kedamaian di Jepang, agama Buddha
dijadikan agama resmi Negara, sekalipun pemikiran keagamaan tidak berkembang
sebagaimana pada abad-abad sebelumnya. Pada masa itu pemerintah juga mengatur
kehidupan keagamaan dan menggunakannya untuk memelihara tata tertib social dan
kehidupan spiritual bangsa. Namun keadaan tersebut ternyata menyebabkan rakyat
menjadi kurang senang terhadap para penguasa dan mendorong timbulnya
aliran-aliran baru dalam agama asli Jepang yang berusaha untuk mengembalikan
masyarakat Jepang kepada kepercayaan asli mereka yaitu agama Shinto.
Dan
perkembangan terakhir menunjukkan bahwa setelah kekeshogunan dihapus pada tahun
1868 M, agama Buddha mulai kehilanagan sumber keuangan dan prestasinya. Namun
dalam keluwesannya agama tersebut dapat mengatasi kesulitan yang dihadapinya
dan menyusun diri sebagai lembaga agama yang bebas dari Negara.[9]
III.
Penutup
Sebagai
halnya dalam agama-agama lain timbulah beberapa mazhab dikalanhgan para
pengikut-pengikutnya maka demikian pula dengan Agama Buddhisme inipun ada
perpecahan yang menjadikan sebagai mazhab dan ini terjadi setelah sang Buddha
wafat.
IV.
Daftar Pustaka
Ebook Alexander
berzin, Buddhism
and Its Impact on Asia.Asian Monographs, no. 8(Terj….)
Ebook Upa. Sasanasena Seng Hansen, BASIC BUDDHISM What Should We
Know About Buddhism,(Terj….)
Ebook
Buddhism in east Asia
Harun
hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta :
PT Bpk Gunung Mulia, 2010
Mukti Ali,
Agama-agama di dunia, Yogyakarta : IAIN Sunana Kalijaga Press, 1988
Suwarto,
Buddha Darma Mahayana, Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995
[1]
Ebook,Alexander berzin, Buddhism and Its Impact on Asia.Asian
Monographs, no. 8(Terj….)
[2]Ebook, Upa. Sasanasena Seng Hansen, basic buddhism what
Should We Know About Buddhism,(Terj….)
[3]Ebook
Buddhism in east Asia
[4]Mukti
Ali, Agama di dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Prres, 1988), h.
[5]
Mukti Ali, Agama-agama Di DUnia, (Yogyakarta : IAIN Sunana Kalijaga Press, 1988),
h. 140
[6]
Harun hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta : PT Bpk Gunung Mulia, 2010), h.98
[7]Mukti Ali, Agama di dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga Press), h.
[8]Suwarto,
Buddha Darma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia,
1995), h.520-521
[9]
Ali Mukti, Agama-agama di dunia, (Yogyakarta :IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988),
h140-142
Tidak ada komentar:
Posting Komentar