Kamis, 06 Juni 2013

Agama Buddha di luar India (Korea, Thailand dan Jepang)


Oleh lailatil Fawaidah

       I.            Pendahuluan

Pada awalnya agama Buddha tidak pernah mengembangkan suatu gerakan pengutusan, dimana ajaran Buddha menyebar jauh dan luas di subbenua India dan dari sana  agama Budha menyebar ke seluruh Asia. Di tiap budaya yang ditemuinya, cara-cara dan gaya-gaya Buddha disesuaikan dengan watak setempat, tanpa mengubah pokok-pokok penting tentang kebijaksanaan dan welas asih. Namun, agama Buddha tidak pernah mengembangkan hierarki kekuasaan agama dengan seorang pimpinan penguasa. Di setiap negara yang menerima ajaran Buddha, mengembangkan bentuknya sendiri, struktur agamanya sendiri, dan pimpinan rohaninya sendiri.[1]                                                                                                       
   Akibat adanya penyebaran ajaran Buddha, maka terjadilah akulturasi. Akulturasi ini sendiri merupakan hal yang sudah wajar terjadi selain karena ajaran Buddha yang memiliki nilai toleransi tinggi, juga karena tidak ada satu agama pun yang memiliki hak untuk memaksakan ajaran maupun tradisinya kepada masyarakat dengan tradisi setempat. Penyebab kedua terbentuknya aliran-aliran yang berbeda dalam agama Buddha adalah karena adanya perbedaan persepsi, dan ini pun juga adalah hal yang wajar. Sebagai sebuah ajaran yang bersumber pada pengalaman manusianya sendiri, sudah tentu banyak persepsi yang muncul selama kurang lebih 2500 tahun. Saat ini terdapat 3 aliran utama dalam Buddhisme di dunia, yaitu:

1. Theravada (baca: The-ra-wa-da) Sebagai aliran yang memegang teguh Dharma Winaya sesuai kitab Tripitaka Pali. Oleh karena itu disebut juga sebagai ajaran para sesepuh atau juga Early Buddhism (Buddhisme Awal). Theravada berkembang di Asia bagian selatan (Sri Lanka) dan Asia Tenggara.

2. Mahayana Sebagai ajaran yang berkembang pesat di Asia bagian timur (khususnya) dan seluruh Asia (umumnya)

3. Vajrayana atau Tantrayana Sebenarnya merupakan bagian dari Mahayana namun memiliki perbedaan doktrin maka terbentuklah aliran ini. Pada mulanya merupakan akulturasi antara ajaran Buddha dengan kebudayaan dan tradisi Tibet.[2]

         I.            Budhisme di Korea dan Thailand beserta aliran-alirannya

Sejarah awal masuknya Buddha di Korea

Awal catatan sejarah menyatakan bahwa ada tiga kerajaan di Korea, yaitu Koguryo di utara, Packche di barat daya dan Silla di tenggara. Menurut tradisi, seorang biarawan Cina pada paruh kedua abad keempat Masehi dimana pertama kali diperkenalkan Buddhisme untuk kerajaan di sebelah utara dari Koguryo. Seorang bhikkhu Asia Tengah dikatakan telah membawa Buddhisme untuk Packche.         Beberapa waktu kemudian, Kerajaan silla ini merupakan wilayah yang paling terpencil dan pada awalnya tidak siap untuk menerima Buddhisme. Orang-orang memegang teguh keyakinan agama tradisional mereka. Kemudian ada oposisi yang kuat seperti agama Buddha bahwa seorang bhikkhu yang pergi ke sana untuk menyebarkan ajaran Buddha dikatakan telah tewas. Akhirnya, pada pertengahan abad keenam, bahkan orang-orang Silla menerima Buddhisme.

Penyebaran agama Buddha di korea

Selama abad keenam dan ketujuh, banyak biksu Korea pergi ke Cina untuk belajar dan membawa kembali dengan mereka ajaran dari berbagai sekolah Cina Buddhisme. Menjelang akhir abad ketujuh, tiga kerajaan tersebut bersatu di bawah penguasa kerajaan Silla kuat. Sejak saat itu dan seterusnya, Buddhisme berkembang di bawah patronase kerajaan mereka. Besar karya seni diciptakan dan biara-biara megah dibangun. Buddhisme memberikan pengaruh yang besar pada kehidupan orang-orang Korea. Pada abad kesepuluh, aturan Silla berakhir dengan berdirinya Dinasti Koryo. Dalam aturan baru ini, Buddhisme mencapai puncak pentingnya. Dengan dukungan kerajaan, lebih biara dibangun dan lebih karya seni yang dihasilkan. Seluruh Tripitaka dalam terjemahan Cina juga diukir pada blok cetak kayu. Ribuan blok ini dibuat pada abad ketiga belas dan telah dengan hati-hati diawetkan untuk hari ini sebagai bagian dari harta nasional Korea.

Periode pemberantasan di korea

Sesuai dengan aturan baru dari Dinasti Yi dari akhir abad keempat belas sampai awal abad kedua puluh, Buddhisme kehilangan dukungan dari pengadilan ketika Konfusianisme menjadi agama resmi di negara. Tindakan yang diambil untuk menekan kegiatan komunitas Buddhis. Biksu Buddha dilarang untuk memasuki ibukota, tanah mereka disita, biara-biara tertutup dan Buddha upacara dihapuskan. Meskipun semua masalah masa sulit, ada kadang-kadang beberapa bhikkhu besar yang terus menginspirasi para pengikut mereka dan terus Buddhisme hidup

Kebangkitan Buddhisme di Korea

Dengan runtuhnya Dinasti Yi, Korea berada di bawah kendali Jepang. Orang Jepang yang datang ke Korea memperkenalkan bentuk mereka sendiri Buddhisme, yang termasuk tradisi ulama menikah. Akibatnya, beberapa biarawan di Korea memisahkan diri dari tradisi mereka selibat.                                  
 Dari periode ini dan seterusnya, ada kebangkitan agama Buddha di Korea. Banyak umat Buddha di Korea sejak itu aktif terlibat dalam mempromosikan kegiatan pendidikan dan misionaris. Mereka telah mendirikan universitas, mendirikan sekolah-sekolah di berbagai belahan Korea dan mendirikan kelompok dan organisasi pemuda awam. Teks Buddhis, asal dalam terjemahan bahasa China, sekarang sedang diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Korea modern. Biara-biara baru sedang dibangun dan yang lama diperbaiki. Hari ini, Buddhisme lagi memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat.[3]

Sejarah awal masuknya Buddha di Thailand

Manurut legenda, agama Buddha masuk ke Thailand sekitar abad ke-3 S.M. ketika Raja Asoka mengirimkan dua orang Bhikku ke sana yang diterima oleh suku Mosn yang mendiami kota Burma dan Thailand. Sampai  abad ke-7 corak agama budha itu masih berkembang di Thailand yang dipengaruhi oleh aliran Theravada, kemudian pada abad ke-8 yang awalnya dari aliran Theravada menjadi aliran Mahayana, Terutama yang berasal dari kerajaan Sriwijaya, mulai kelihatan bersamaan dengan masuknya unsure-unsur agama Hindu di Thailand Timur. Pada permulaan abad ke-13, terjadi penyebaran agama Buddha yang kedua kalinya, dimana perkembangan yang kedua ini masuk ke wilayah Burma,Thailand,Kamboja dan Tibet. Dan penyebaran kedua ini mengandung dua aspek yaitu:

Ø pemeliharaan dan,

Ø tranmisi  sentral ide aliran Theravada, yang dikenal dengan Abidharma.

dan masuknya aliran ini  diwarnai dengan warna lokal serta dimasukan kedalam situasi kultural dari beberapa negeri yang dijadikan satu kedalam tradisi Abhidarma, sehingga ada cirri-ciri tersendiri dalam agama Buddha aliran Theravada yang membedakan dari satu Negara dengan Negara lainnya.                                   Raja-raja Thailand itu menggunakan gelar “Rama” dan memberikan perhatian yang besar terhadap perkembangan agama Budha, lebih dari itu, hubungan antara raja dengan sangha juga sangat baik. Dimana Raja sebagai pengawas dan pelindung dari sangha. pada masa raja  Rama I, Kitab Tripitaka berhasil dituliskan pada daun palma. Ia mengumumkan kepada rakyat Thailand  agar membersihkan sangha dari anggota-anggota yang tidak berguna, memurnikan praktek kewiharaan dan meningkatkan studi dan meditasi, dirintisnya pula tradisi bagi raja-raja Thailand untuk menjadi anggota sangha beberapa lama sebelum menjadi raja Rama ke-IV, yang tersebut Mongkrut, terkenal dalam pembaharuan pemikiran keagamaan. Ia mengadakan reformasi dan penafsiran kembali ide-ide Buddha menurut pemikiran  Barat yang berkembang  pada waktu itu. Salah satu usaha pembaharuannya adalah membentuk aliran sangha yang dikenal dengan Dharmayutika yang menekankan bahwa ajaran agama Buddha tidak bertentangan  dengan ilmu pengetahuan modern. Sebagai mantan bhikku, ia berhasil meningkatkan kehidupan sangha telah kehilangan gairah dan membersihkannya dari unsur-unsur yang bertentangan dengan ideasli agama Buddha.                                    Dimasa modern, Rama IV pada tahun (1910-1925) adalah Raja Thailand  yang memebrikan warna Buddhis bagi Thailand. Ia menegakkan soko-guru bagi persatuan kelangsungan dan identitas Thai, yaitu: bangsa, agama dan raja. Agama Buddha merupakan agama nasional dan sebagaian besar orang Thailand menjadi orang Thai berarti pula menjadi penganut Buddha.Berdasarkan tiga soko-guru yang dijadikan dasar persatuan Thialand tersebut perkembangan agama Buddha berjalan dengan pesat sejalan dengan perkembangan masyarakat Thai di zaman modern. Banyaknya Thai yang menjadi bhikku tersebut adalah karena faktor tradisi yang sudah lama berlaku yaitu bahwa seorang lelaki harus menjalani hidup sebagai bhikku selama masa phasa, atau tiga bulan sepanjang hujan, di salahsatu wihara, sebagai suatu upacara peralihan antara masa remaja dan masa perkawinan. Selain itu, factor pendidikan yang disediakan sangha juga telah mendorong orang-orang Thai memasuki  sangha, terutama dari kalanagan rakyat biasa dan orang-orang miskin. Fasilitas-fasilitas pendidikan yang diberikan oleh sangha ini, baik yang berupa pendidikan agama ataupun pendidikan umum yang disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku di sekolah-sekolah negeri, telah membuka banyak kemungkinan bagi rakyat Thailand pada umumnya untuk meningkatkan diri sekalipun mereka memiliki kemampuan yang terbatas dalam masalah keuangan dan kesempatan.  Sangha memang sebagai peranan yang sangat penting dalam kehidupan agama di Thailand. Inti dari sangha adalah para bhikku yang tlah menjalani khidpan kebikhuan selama 10 tahun atau lebih dan menjadikan agama sebagai bagian dari kehidupa mereka.                                                                            Sepanjang sejarah negeri Thai, pemerintah menyadari pentingny apara sangha dalam masyarakatdan peranan agama sebagai pemesatu bangsa. Maka dari iru pemerintah mengawasi sangha dan menempatkannya di bawah supervise pemerintah dengan membentuk hirarki sangha yang bersifat nasional sehingga  pengaruh pemerintah cukup menentukan. Sangha dan Bhikku sebagai perorangan tidak diharapkan memerankan peranan politik yang lepas apalagi yang bertentangan dengan Negara. Pemerintah mempergunakan hirarki sanghatersebut sebagai alat untuk integrasi nasional serta pembangunan bangsa dan Negara Thai sampai sekarang.[4]

      II.            Budhisme di  Jepang dan aliran-alirannya (Zen, Amida/tanah suci, Nichiren Sozu).

Agama Buddha yang dalam bahasa Jepangnya disebut Bukkyo (Butsu : Buddha, Kyo: ajaran) dipercaya mulai masuk ke Jepang lewat kerajaan Baekje di Korea sekitar tahun 538. Agama Buddha masuk  ke Jepang pada abad ke-6 atau tahun 853 atau 552 M.[5] dimana menurut cerita , pada waktu itu raja Korea mengirimkan Kepada Kaisar Kimmei Tenno di Jepang  sebuah patung Buddha yang terbuat dari emas dan perunggu, dan beberapa Kitab Sutra, alat pemujaan, dengan disertai  permintaan untuk menerima agama Buddha. Kemudian Kaisar Kimmei Tenno mencobanya untuk menerima agama Buddha sekalipun awalnya ada pertentangan yang hebat akan tetapi lama kemudian agama Buddha dapat berkembang dengan baik.[6]  Suku yang menerima agama Buddha yang diminta oleh raja Korea itu adalah Suku Soga dan yang menolak Agama Buddha di Jepang adalah Suku-suku lainnya dimana mereka menolak dengan alasan karena menganggap menghina kepercayaan terutama pada para  dewa mereka.                                        
 Tokoh utama yang menyebarkan agama Buddha di jepang adalah Pangeran Shotoku Taishi pada tahun (547-621), pangeran ini tahta pada tahun 593 M., dimana peranan agama Buddha yang ada di Jepang dapat disejajarkan dengan Raja Asoka di India. pada masa Pangeran Shotoku Taishi, Ia juga menetapkan agama  Buddha sebagai agama Negara, serta menerjemahkan sendiri kitab suci Sadharma Pindarika, Vimalakirti dan Srimalasutra yang sangat berpengaruh dalam pembentukan filsafat Buddhisme di Jepang sampai hari ini. ia juga mengirimkan para ahli Jepang ke Kora dan cina untuk mempelajari agama, seni dan ilmu pengetahuan. Pada tahun 607 M. ia mendirikan kuil-kuil di Nara dan Haryuji yang merupakan kuil tertua dan masi berdiri hinnga sekarang. Dan perkembangan pesat agama Buddha terjadi pada periode Nara (710-784), terutama karena banyaknya suku-suku berpengaruh dan bangsawan-bangsawan terpandang yang memeluk agama tersebut. Para  penguasa pada masa itu beranggapan bahwa agama Buddha dapat dijadikan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat mereka. Dan pada periode Nara ini juga ditandai dengan munculnya beberapa aliran dalam agama Buddha di Jepang, diantara aliran-aliran tersebut yang ada hingga saat ini adalah aliran Hosso yang berpusat di Kofuji dan Yakushiji, aliran  Kegon berpusat di Todaiji dan aliran Ristu yang berpusat di Toshodaiji.                                        
   Dimasa kekuasaan dinasti Heian pada yahun (794-1185 M.) muncul usaha-usaha untuk memadukan kepercayaan dan tradisi Jepang  dengan agama Buddha, antaralain melalui ajaran Saicho dan kukai. Yang pertama, yaitu Saichoyang kemudian terkenal dengan sebutan Dengyo Daishi, mengajarkan bahwa sebenarnya dewa-dewa agama Buddha adalah sama dengan dewa-dewa dalam agama Shinto, yang disebut Kammi, sementara Kukai, yang selanjutnya terkenal dengan sebutan Kobo Daishi, yang mengajarkan bahwa dewa tertinngi dalam agama Shinto adalah sama dengan dewa tertinngi dalam agama Buddha sehinnga tidak ada perbedaan antara pemujaan terhadap Buddha dengan pemujaan terhadap agama Shinto Ketika memasuki abad ke-13 M. beberapa aliran baru muncul di jepang, sejalan dengan perselisihan dan perebutan kekuasaandi antara para penguasa, atau sejak pada tahun 624 timbullah mazhab/aliran-aliran yang bermacam-macam di Jepang.Aliran–aliran baru  tersebut anatara lain aliran Cha’an yang di Jepang disebut dengan Aliran Zen, aliran Amida (Tanah Suci), dan Nichiren Sozu.[7]

v    Zen

Aliran Ch’an atau Zen masuk ke Jepang kira-kira tahun 1200, ada yang mengatakan kira-kira abad ke-6 M. aliran ini mempunyai jalur asal muasal dari ajaran Boddhidarma di Cina, dimana aliran ini mempunyai tujuan untuk memidahkan pikiran Buddha secara langsung ke dalam pikiran para pemeluknya dan mengajarkan bahwa pencerahan hanya dapat diperoleh melalui pemikiran yang intuitif. Oleh karena itu aliran ini lebih menekankan pada displin dalam melakukan samadi untuk mencapai pencerahan, dan menolak doa-doa atau kepercayaan terhadap adanya juru selamat.  Aliran ini terbagi menjadi dua golongan besar yaitu: Soto Zen, dengan tokohnya yang bernama Dogen( (19 January 1200 - 22 September 1253) yang merupakan seorang guru Zen termasyur di Jepang. Tokoh ini pernah lama belajar dan memperdalam ilmunya di negeri China.

Peninggalan salah satu kuil Zen yang sangat terkenal yaitu Eiheiji Temple di Perfecture Fukui, dimana disitu terlihat  jelas refleksi dari ajaran Zen tersebut... Dan yang kedua aliran Rinzai dengan tokohnya yang bernama Eisai. Aliran yang tersebut akhirnya berkembang di kalangan militer dan aristocrat serta menjadi tulang punngung kelas penguasa dan militer. Sementara yang pertama yaitu aliran Soto Zen  itu lebih banyak dianut oleh kalangan para petani dan bergerak dalam kegiatan social, yang memiliki perguruan tinggi dan sekolah-sekolah yang cukup banyak.



v    Amida/tanah suci

Aliran ini (Amida atau Tanah Suci) mengengemukakan suatu ajaran keselamatan yang dalam istilah-istilah sederna, yaitu: percaya kepada Buddha secara mutlak. dan dengan menyebut Amida orang akan memperoleh keselamatan. Aliran ini mendapat banyak pengikut di kalanagan petani dan menjadi agama messianic pada saat terjadi kemelut social. Dan objek pemujaan aliran ini adalah patung Amida Buddha, yang dilengkapi dengan patung bodhisatwa Kwan On yang melambangkan kemurahan dan pating Daiseishi sebagai lambing lambing kebijaksanaan.

v    Nichiren Sozu

Sekte ini lahirdi Jepang oleh pendirinya Nichiren Sozu Daishonin pada tahun (1222-1282) yang asal mulanya dari sekte Tendai (Jep.) (T’ien-t’ai). Beliau anak dari keluarga nelayan yang miskin, tinggal di desa kecil yang bernama Kominato, Tojo daerah Nagasa propinsi Awa (prefecture Chiba Modern), Ia dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1222  Dia menjadi murid Dozenbo (12 mei 1233) di kuil koyosu-mi-dera yang terletak di atas Gunung Kiyosumi. Dalam ruang Buddha dari kuil itu terdapat ruphang Bodhisattva Kokuzo (Bodhisatva dari angkassa, karena kearifannya seluas angkasa). Dia bernazar di hadapan Bodhisatva ini bahwa kelak dia akan menjadi seorang yang paling bujaksana di Jepang.                                          
  Pada usia 15 tahun dia di-upasampada-kan menjadi sramanera. Dengan seijin gurunnya Dozenbo, Nichiren Daishonin (dalam usia 17 tahun ) pergi ke tempat lain untuk pelajaran Buddhism yang lebih dalam. Pertama-tama dia pergi ke Kamakura, hanya 4 bulan, dia belajar disini. Kemudian ia kembali lagi ke Kiyosumi-dera. Selanjutnya ia pergi ke kuil Enryakuji yang terletak di atas gunung Hei, tempat ini di anggap pusat terpenting ilmu pengetahuan Buddhism di Jepang (Tendai: T;ien-t’ai) pada waktu itu selama 12 tahun dia belajar.                                                                        Pada tahun 1253, Nichiren Sozu Daishonin kembali ke kuilnya Kiyosumi-dera. Beliau dalam usia 30 tahun menyatakan hasil dari pelajarannya dan pengalamannya dengan keyakinannya bahwa ‘Sutra Teratai’ (Saddharma Pundarika Sutra, Hokkekyo) dan mantera ‘Nam-myoho-renge-kyo’ merupakan inti sari dari Sutra Taratai. Dan Sutra Teratai adalah jantung dari agama Buddha Shakyamuni di zaman  Mappo (Mo Fa) atau Hari kemudian mrnjadi Hukum.[8]                                              Nichiren Shō Shū yang artinya Sekte Benar Nichiren, Nichiren Sozu ini didirikan pada tahun 1253 oleh pendeta Nikkō, murid pendeta Nichiren. Sekte Nichiren adalah salah satu sekte Buddha yang cukup unik. Keunikannya adalah sekte ini adalah tidak melakukan penyembahan ke arca Buddha seperti yang umum dilakukan pada tradisi Buddha lainya. Sebagai gantinya mereka meletakkan Mandara, tulisarn atau huruf Jepang yang berisikan mantra atau tulisan suci yang dikeramatkan.                                                                                                                         Ajarannya Nichiren Sozu ini bertujuan mengembalikan agama Buddha kepada bentuknya yang murni yang akan dijadikannya dasar bagi perbaikan masyarakat Jepang, dan menolak  ritualisme dan simentalisme aliran Tanah Suci, melawan semua kesalahan, agresif, patriotis tetapi eksklusif.Selain ketiga aliran besar di atas, pada abad ke-14 muncul aliran keagamaan yang bercorak Shinto yang di padukan dengan agama Buddha dan Konfusianisme dengan nama Yosidha Shinto. Menurut aliran ini, agama Buddha dapat di anggap sebagai bunga dan buah dari semua dharma di ala mini, Konfusianisme sebagai cabang rantingnya, dan agama Shinto sebagai akar dan batangnya.

Pada masa Tokugawe yang dikenal sebagai masa kedamaian di Jepang, agama Buddha dijadikan agama resmi Negara, sekalipun pemikiran keagamaan tidak berkembang sebagaimana pada abad-abad sebelumnya. Pada masa itu pemerintah juga mengatur kehidupan keagamaan dan menggunakannya untuk memelihara tata tertib social dan kehidupan spiritual bangsa. Namun keadaan tersebut ternyata menyebabkan rakyat menjadi kurang senang terhadap para penguasa dan mendorong timbulnya aliran-aliran baru dalam agama asli Jepang yang berusaha untuk mengembalikan masyarakat Jepang kepada kepercayaan asli mereka yaitu agama Shinto.

Dan perkembangan terakhir menunjukkan bahwa setelah kekeshogunan dihapus pada tahun 1868 M, agama Buddha mulai kehilanagan sumber keuangan dan prestasinya. Namun dalam keluwesannya agama tersebut dapat mengatasi kesulitan yang dihadapinya dan menyusun diri sebagai lembaga agama yang bebas dari Negara.[9]



   III.            Penutup



Sebagai halnya dalam agama-agama lain timbulah beberapa mazhab dikalanhgan para pengikut-pengikutnya maka demikian pula dengan Agama Buddhisme inipun ada perpecahan yang menjadikan sebagai mazhab dan ini terjadi setelah sang Buddha wafat.

   IV.            Daftar Pustaka

Ebook Alexander berzin, Buddhism and Its Impact on Asia.Asian Monographs, no. 8(Terj….)

Ebook Upa. Sasanasena Seng Hansen, BASIC BUDDHISM What Should We Know About Buddhism,(Terj….)

Ebook Buddhism  in east Asia

Harun hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta :  PT Bpk Gunung Mulia, 2010

Mukti Ali, Agama-agama di dunia, Yogyakarta : IAIN Sunana Kalijaga Press, 1988

Suwarto, Buddha Darma Mahayana, Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995




[1] Ebook,Alexander berzin, Buddhism and Its Impact on Asia.Asian Monographs, no. 8(Terj….)
[2]Ebook, Upa. Sasanasena Seng Hansen, basic buddhism what Should We Know About Buddhism,(Terj….)

[3]Ebook Buddhism  in east Asia
[4]Mukti Ali, Agama di dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Prres, 1988), h. 
[5] Mukti Ali, Agama-agama Di DUnia, (Yogyakarta : IAIN Sunana Kalijaga Press, 1988),  h. 140
[6] Harun hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha,  (Jakarta : PT Bpk Gunung Mulia, 2010), h.98
[7]Mukti  Ali, Agama di dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press), h.
[8]Suwarto, Buddha Darma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), h.520-521
[9] Ali Mukti, Agama-agama di dunia, (Yogyakarta :IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h140-142

Tidak ada komentar:

Posting Komentar