Oleh : Hafidz
Budhisme di Cina dan aliran-alirannya
Tidak di ketahui secara pasti kapan agama Budha masuk ke Cina, namun pendapat yang umumnya diterima ialah pada permulaan dinasti Han,
ketika kaisar Ming Ti (58-76 M) mengirimkan utusan ke India untuk meniliti
agama Buddha. Perkembangan awal agama tersebut di Cina yang telah
memperlihatkan hasil yang menggembirakan karena mendapat perlawanan dan
tantangan dari kepercayaan dan filsafat asli cina yang telah berkembang
sebelumnya, seperti yang di ajarkan oleh Konfusius, di samping ajaran dan filsafat
Buddha dianggap terlalu kaku dan metafisis sehingga dirasakan sangant
bertentangan dengan alam pikiran cina yang praktis dan materialistik.
Perkembangan yang cukup pesat mulai terjadi setelah abad kedua masehi, yang
antara lain karena jatuhnya dinasta Han yang diikuti dengan merosotnya
Konfusiasme dan Taoisme sehingga mengakibatkan Cina menghadapi kegelisahan
budaya. Tradisi dan struktur yang lemah, sementara alternatif baru belum muncu. Dalam situasi budaya
seperti itulah, Buddha Mahayana muncul dan dipandang mampu memenuhi kebutuhan
yang ada dengan menawarkan suatu bentuk upacara keagamaan yang berbeda dari
tradisi-tradisi yang sudah ada sebelumnya di satu pihak, dan di lain pihak
kepercayaan dan tradisi asli tadi memberikan sumbangan dalam membentuk kualitas
agama Buddha yang merakyat di Cina.[1]
Pada periode awal perkembangan agama Buddha di Cina itu banyak didirikan
wihara-wihara dan dilakukan penerjemahan naskah-naskah Buddha ke dalam bahsa
Cina. Salah seorang penerjemah yang terkenal adalah Sarvastivadin yang telah
mengerjakan terjemahan tidak kurang dari 100 naskah Buddha ke dalam bahasa
Cina. Akan tetapi masa keemasan agama Buddha di Cina antara abad ke 7 M. Hingga
abad ke-9 M. Di bawah kekuasaan dinasti T’ang. Pada masa ini, kontak antara
cina dan India tidak hanya terbatas pada bidang keagamaan saja, tetapi
jugamenyangkut bidang-bidang yang lain. Pada masa dinasti T’ang, agama Buddha
diadaptasikan dan dikombinasi dengan kebudayaan setempat, seperti terlihat
dalam berbagai karya seni yang bercorak keagamaan. Masa keemasan ini juag
ditandai dengan banyaknya para ilmuwan Cina yang melakukan perjalanan untuk
mempelajari dan menulis sejarah agama ke berbagai negeri yang termasuk
Nusantara, menerjemahkan kitab-kitab sutra dan memperkaya dengan ide-ide
keagamaan yang ganjil dan menakjubkan. Di antara para ilmuwan itu adlah Fa
Hien, Hi Nen, Tsang dan I’Tsing.
Namun kemajuan agama Buddha
di Cina itu ditandai pula dengan kebangkitan kembali Konfusiasme yang bersifat
sosial-elitis sehingga serimg berbenturan dengan ajaran Buddaha yang menekankan
pada kehidupan sejati melalui hidup membiara sebagai bhikkhu. Pertetangan tersebut
merembaet pula pada tradisi cina yang menekankan pada kehidupan keluarga disatu
pihak, dengan ajaran Buddha untuk hidup selibat dan membiara dilain pihak, yang
secara ekonomis tidak membantu pengembangan produktivitas keluarga dan
masyarakat. Namun sejauh itu agama Buddha tetap mampu mengakomodasikan dirinya
dengan kepercayaan tersebut sehingga memperoleh tempat sejajar dengan
konfusianisme dan taoisme. Bahkan, ketiga-tiganya membentuk landasan filsafat
dan agama di Cina yang dikenal sebagai Sam Kauw, atau Tri Dharma, yang berarti
tiga ajaran.[2]
Aliran Dhyana
Dengan kesempurnaan ini, kita memasuki alam
dari tapabrata dan psychologi phonomena yang abnormal, Mahayan sekarang memulai
menjadi tak dapat dipahami. Dhyana, berasal dari dhya, adalah salah satu
istilah yang tidak dapat diterjemahkan sebagai meditasi,’ kegembiraan yang luar
biasa,’ perenungan, rasa gembira, dan seterusnya.
C.A.F. Rhys Davids telah
menunjukan bahwa jhana dalam pali tidak berarti meditasi, karena kata-kata bahasa
inggris menyatakan secara tidak langsung usaha intelektuil.C.A.F. Rhys Davids
menjelaskan Dhyana sebagai latihan mengenai renungan penuh atau abstraksi. Ini
boleh diterima sebagai terjemahan konvensional untuk saat sekarang.
Dhyana dijelaskan dalam
Bodhisattva bhumi sebagai konsentrasi dan stabilitas atau ketetapan dari
pikiran. Lawan kata dari dhyana adalah viksepa (perusakan pikiran) atau
manah-ksobha (agitasi atau gangguan dari pikiran ) Dhyana adalah demikian terutama
dan pada pokoknya usaha-usaha dari mengalami dan memperoleh ketentraman dan
ketenangan (camatha) yang sudah tentu berpasangan dengan konsentrasi mental
dalam Pr.Pa.Cata. seorang bodhisattva
yang mulai melatih dhyana harus melalui suatu tingkatan pendahuluan dari
persiapan, yang boleh di katakan
mencangkup pembuangan dan kesunyian, pengolahan dari empat yang maha mulia,
atau keadaan sempurna dan penggunaan dari krtsnayatanas.
Seorang bodhisatwa yang
mulai melatih dhyana, sekarang harus menyerahkan kehidupan keluarga dan
hubungan sosial umum, dan mengundurkan diri ke suatu tempat terpencil didalam
hutan. Dia harus hidup sebagai pertaba yang tidak kawin dan sebagai pertapa. M.
Anesaki menjelaskan pendapat itu bahwa umat mahayana menemukan kehidupan mulia
atau yang berumah tangga tidak ada jalan lain bertentangan dengan latihan
mengenai paranitas dan pencapaian bhodihi. Tetapi para penulis terkenal
sangsekerta tidak mendukung pandangan ini. Aphorisme (aphorism=a short pithy
sentence, stating a general doctrine or truth). Pali yang terkenal, menyelahkan
kehidupan yang telah berumah tangga, ditemukan dalam beberapa halaman versi
sangsekerta. Kehidupan dalam rumah itu adalah sempit. Dan penuh dengan halangan
( kamar, tempat tidur bayi, batasan-batasan) sementara kehidupan seseorang
bhikku adalah bagaikan udara terbuka. Adalah sulit untuk menuju murni, cermat,
dan kehidupan spiritual suci sebagai yang berumah tangga. Menurut Pr.pa. Cata.,
bujangan adalah perlu untuk penerangan. Bahkan seseorang bhodisatva yang telah menikah, perkawinannya adalah
sungguh-sungguh sesuatu tipuan yang soleh demi perubahan bagi orang lain. Dia
tidak sungguh-sungguh menikmati kesenangan berhala nafsu, dia tetap sebagai
seorang bujangan. Da. Bhu mengajarkan bahwa seseorang bhodisatva menjadi
seorang biksu tingkat pertama dari karirnya. Seorang bhodisatva harus berkelana sendirian bagaikan badak.
Pohon-pohon dan bunga-bunga didalam hutan adalah teman-teman yang tidak
memberikan kesusahan, dan tema-teman mereka lebih baik pada yang bodoh ini dan
orang-orang dunia yang mementingkan diri sendiri. Seorang bhodisatva yang telah
kembali kehutan harus menemukan batang kayu di pepohonan, buku-buku di dalam
sungai yang mengalir. Dia harus bebas dari ide mengenai sendiri dan pemilikan,
seperti pohon tapi harus bersedia berkorban kehidupannya bagi mereka dalam satu
semangat yang sangat merasa kasihan jika binatang itu menyerang dia. Dia harus
mencurahkan perhatian pada meditasi dan ujian diri sendiri, dan juga berkhutbah
secara kebetulan kepada umat awam yang mungkin mengunjunginya didalam
pertapaan. Seorang bodhisattva harus melatih 4 meditasi yang dinamakan brahma
vihara (4 yang maha mulia;) juga dikenal sebagai apramanani.
4 brahma vihara terdiri dari pengolahan yang dalam mengenai 4 perasaan,
menurut suatu metode tertentu, yaitu :
-
Maitri (cinta atau persahabatan)
-
Keruna (perasaan terharu)
-
Mudita (kesenangan simpatik)
-
Upeksa (ketenangan).
Konsepsi mengenai dhyanatelah diperhalus, tetapi doktrin utama
mengelilingi 9 keadaan psykologis, nyata atau iamjinasi, yang dinamakan anupurva-vihara
(yaitu keadaan-keadaan berurutan secara teratur). Empat yang pertama dari
keadaan ini dikenbal sebagai 4 dhyana, dan 5 yang terakhir umumnya dikatakan
mengenai samapatis (pencapaian). Yang belakangan ini adalah yang utama
yakni tingkat ke-4, ke-5, ke-6, ke-7, dan ke-8 adalah pokok-pokok dari suatu
daftar dari 8 vimoksas (pembabasan, atau tingkatan pembebasan) tingkatan
tertinggi ini biasanya dinamakan samapatis, dan bukan dhyana, di dalam
naskah sansekerta. Pembebasan yang pertama tidaklah berhubungan dengan pokok
pembahasan kita dalam bagian ini. Sejarah permulaannya mengenai kategori itu
adalah tidak jelas. Mereka itu barangkali sudah ada sebelum agama Buddha,
sebagaimana Brahma-jala-sutta menghubungkan mereka dengan sekte
non-Buddhist. Menurut Lal.V. Rudraka Ramaputra, sebagai gurunya Buddha Gautama
untuk beberapa waktu, melatih itu.
Berikut ini penjelasan Dhyana :
-
Dhayana ke-1. Dia (yakni bodhisattva ) bebas dari
kesenangan hawa nafsu dan keadaan pikiran yang buruk dan tercela, memperoleh
dan tinggal dalam dhyana ke-1, yang timbul dari pengasingan, dan
berhubungan dengan kesenengan dari kegembiraan, dan timbul dari penuh
konsentrasi di dalam ketiadaan dari refleksi dan infestigasi.
-
Dhyana ke-2. Dengan penghentian dari refleksi dan
investigasi, dia, tenang di hati, mengkonsentrasikan pikirannya pada satu
titik, memperoleh dan tinggal dalam dhyana ke -2. Yang berhubungan
dengan kesenangan dan kegembiraan, dan timbul dari penuh konsentrasi di dalam
ketiadaan dari refleksi dan investigasi.
-
Dhyana ke-3. Setelah meninggalkan kemelekatan pada
kesenangan, dia tetap hampir tidak berubah, sadar, dan memiliki dirinya sendiri
berpengalamandalam tubuhnya kesenangan yang orang mulia menguraikan sebagai
tinggal dalam ketenangan hati, kewaspadaan, dan kebahagiaan, memperoleh dan
tinggal dalam dhyana ke-3 dimana tanpa kesenangan.
-
Dhyana ke-4. Karena bebas dari sakit dan kesenengan dan
hilangnya yang dulu mengenbai kegirangan hati dan kkecewaan, dia memperoleh dan
tinggal dalam dhyana ke-4, dimana tidak sakit begitu juga senang, yang
murni mutlak melalui ketenagnagn dan kewaspadaan.
-
Dhyana ke-5. Dia melebihi semua persepsi mengenai
bentuk materi, melenyapkan persepsi akan daya tahan , tidak menaruh perhatian
terhadap persepsi mengenai perbedaan, menyadari bahwa ruang adalah tidak
terbatas dan memperoleh dan tinggal dalam ruang pola yang terbatas.
-
Dhyana ke-6. Kesadaran yang tidak terbatas. Dia
melebihi semua ruang bola yang tak terbatas, menyadari bahwa kesadaran ialah
tak terbatas memperoleh dan tinggal dalam bidang kesadaran yang tidak terbatas.
-
Dyhana ke-7.Alam dari tidak ada apa-apanya. Dia melebihi
semua bidang kesadaran yang tak terbatas, menyadari bahwa tiada apa-apa
memperoleh dan tinggal dalam ruang yang tiada apa-apa.[3]
Formula sansekerta berbeda dengan Pali dalam
beberapa hal. Keadaan psycologi juga di anggap membawa seorang bodhisattva
menyentuh langsung dunia dan ruang yang berbeda, yang eksistensinya diterima di
kosmologi buddhism.
C.A.F. Rhys Davids
mengatakan, ini adalah demikian untuk membenamkan semua dunia mengenai
perasaan, dan kerja dari pikiran mengenai dunia perasaan, bahwa kekuatan dunia
lain naik di dalam kesadaran manusia. Dia percaya bahwa Budhist bahkan dapat
membuat komunikasi dengan yang telah meninggala dengan cara dhyana.
Akan tetapi hal itu
mungkin, kosmologi dari buddhist Mahayana membagi semesta ke dalam 3 bagian
atau tiga alam (Tri Loka) : ruang lingkup atau alam mengenai kenikmatan
berhubungan dengan panca indera, alam dari bentuk atau zat(benda), dan alam dari
tiada bentuk atau bukan zat atau benda . sebagaimana W.Kirfel telah telah
menunjukan, 3 kategori ini adalah yang pertama-tama diterapkan pada konsepsi
mengenai bhava, dan kemudian diperluas ke seluruh semesta. Macrocosm dan
microsm jadi dibawa kedalam keseimbangan.
Aliran cen yen
I-tsing pada abad ke-7 tiba di Nalanda, beliau berusaha untuk memahammi
aliran Tantra Mahayana ini. Kemudian pusat aliran Tantra Mahayan ini pindah ke
India Timur sebagai pusatnya yakni di Universitas Vikramasiladari sekte
Vajrayana, dari sana dibawa oleh Padmasambhava ke tibet yang kemudian
berhubungan langsung dengan Lamaisma Tibet. Vajrayana merupakan fase
perkembangan terakhir dari mahayana, sekte sebelumnya adalah Mantrayana. Sekte
yogacara tinbul pada abad ke-4 yang menitikberatkan meditasi dan disiplin,
mantrayana kemudian mengembangkan lebih lanjut dari yogacaradengan menggunakan
mantra dan doa-doa, penggabungan simbolmistik dan gaib. Tabtra Buddhist
mendapat pengaruh dari Brahmanisme yang banyak upacara dan ungkapan gaib di
dalam petunjuk dari Atharva-veda.
Pada abad IV M., srimitra
dari kucha (sinkiang) menterjemahkan sebuah kitab Tantrayana yang
berisikan mantra-mantra, pengobatan serta doa-doa dan ilmu gaib, hal-hal
demikian tidaklah mencerminkan nilai-nilai agung dari Tantrayana. Tantrayana
yang murni baru dapat berkembang setelah datangnya 3 (tiga) Guru besar dari
India ke Tiongkok pada masa dinasti T’ang (abad VI-VII) tiga guru besar
tersebut adalah :
1)
Subhakarasinha/san wu wei (637-735); beliau adalah bekas ian pergi ke
kashmir dan pada tahun 716 tiba di Chang an, Subhakarasinha dan I-tsing
menterjemahkan Maha Vairocana Sutra (Ta Re Ju Lai Cing) ke dalam bahasa Tiong
hoa pada tahun 725 M.
2)
Vajrabodhi / cin kang ce (663-723 M.) beliau berasal dari India
selatan dan belajar di Nalanda, beliau mempelajari Vinaya, Madhyamika,
Yogacara, dan Varasekhara, pada tahun 720 beliau menterjemahkan Vajrasekhara ke
dalam bahasa Tiong hoa.
3) Amoghavajra / Pu Khung (705-884); beliau berasal dari India utara dan menjadi
siswa Vajrabodhi, pada waktu muda telah mahir tentang Tantrayana kemudian
belajar lagi dengan Samantabhadra mengenai Vajra-sekharayoga dan Maha Vairocana
Garbhakosa. Dia tiba di Chang An pada tahun 746 M.
Yogacara
adalah nama sekte dari Mahayana yang diperkenalkan oleh asanga dan saudaranya
vasubandhu. Doktrinnya dikenal sebagai Vijnanavada dan pengikutnya disebut
Vijnanavadin. Pandangan yogacara juga berasal dari Madhyamika, yaitu vijnana
(kesadaran) adalah nyata, sedangkan obyek kesadaran adalah tidak nyata,
filsafat Madhyamika bahwa baik subyek maupun obyek kedua-duanya di dalam
kesadaran adalah tidak nyata (realitas adalah sunyata bagi Madhyamika).
Menurut yogacara kejadian dari ilusi menunjukan bahwa kesadaran dapat mempunyai
isi tanpa adanya suatu hubungan obyek yang diluar pada kesadaran itu. Ini
menunjukkan “Murti” sifata dasar yang dimiliki sendiri mengenai kesadaran, oelh
akrena itu apa yang dinamakan obyek atau isi hasil dari kesadaran adalah hasil
dari suatu perubahan kesadaran bagian dalam, salah satu karya Asanga adalah
yogacara –bhumi Sastra.
Perluasan dari ide yogacara dalam agama Buddha permulaan termasuk
dihayati oleh aliran Sautrantika yamng mengajarkan Panca Skandha yaitu vijnana
sendiri adalah telah ada dari tumimbal lahir. Yogacara mengembangkan doktrin
mengenai alaya-vijnana atau gudang kesadaran hal di maksudkan kesadaran murni.
Vijnanvada
Memberikan formulasi mengenai doktrin Tri
kaya, namun asanga dan para pengikutnya memberikan bentuk ide yang sistematis
sebagaimana ditemukan dalam permulaan perkembangan agfama buddha. Doktrin Tri
kaya dari karya asanga berkaitan dengan pandangan yogacara mengenai tiga
kebenaran. Kebenaran yang pertama adalah kebeneran konvensioanl yaitu
berdasrakan persepsi berdasarkan perasaan. Kebenaran yang kedua adalah
kebenrana yang dikaji, konsepsi sebagaimana yang telah dikaji berhubungan
dengan sebab, itu di luar dari asalnya, dan kondisi mengenai pelapukannya.
Kebenaran yang ketiga yang merupakan yang tertinggi dinamakan panirispanna yaitu tanpa awal atau asal pelapukannya, tidak
berubah, dan ketiadaan dari mengenai subyek dan obyek. Nirmana-kaya
adalah kebenaran konvensioanl . sambogha-kaya adalah kebenaran yang
kedua (paratantra), dan Dharma-kaya adalah kebenaran yang tertinggi tau
ketiga (parinispanna).
Yogacara pada perkembangan berikutnya dikenal dengan Vajrayana atau
tantra. Dengan penggabungan mengenai ritual,ibadah, dan yoga dalam konteksnya
mengenai ide absolut, aspek gandanya yaitu kedua-duanya agama, metafisik, dan
tujuannya. Mengenai perubahan personalitas manusia dengan cara institusi mistik
dengan yang absolut.[4]
Pada abad ke VIII, seorang bhiksu cendekiawan jepang yang bernama Kobo
Daishi (Khung Hai Ta She) menggaris bawahi kedudukan tantra Buddhist
sebagai berikut :
Pertama, orang-orang awam yang hidupnya hanay menuruti
hawa-nafsunya.
Kedua, tingkatan manusia yang berusaha untuk hidup bermoral
dan mengerti akan tatakrama kehidupan. Ini diwakili oleh kaum konfusianisme
(kong hu cu)
Ketiga, tingkatan manusia kedewaan yang berusaha untuk
mengumpulkan kesaktian-kesaktian. Ini diwakili oleh kaum Taois dari Tao Chiau
dan sementara kaum Brahmin.
Keempat, tingkatan kaum sravaka, yaitu siswa-siswa Hyang Buddha
yang mendengarkan langsung ajaran-ajaran Buddha dan berusaha untuk mensucikan
diri. Ini diwakili oleh Abhidharma-kosa
Kelima, tingkatan kaum Prataya Buddhayana yang hanya menikmati
hasil-hasil kesucian tetapi tidak menghiraukan makhluk lain.
Keenam, golongan yang menganggap bahwa Ekayana adalah hal yang
nyata. Ini diwakili oleh kaum Tri sastra
Ketujuh, golongan yang mewakili kaum Dharmalaksana.
Pada abad VII,
seorang bhiksu cendekiawan jepang yang bernama Kobo Daishi menggaris bawahi kedudukan Tantra Buddhist sebagai
berikut :
1.
Orang-orang
awam yang hidupnya hanya menuruti hawa-nafsunya.
2.
Tingkatan
manusia yang berusaha untuk hidup bermoral dan mengerti akan tatakrama
kehidupan.ini diwakili oleh kaum Konfusianis
3.
Tingkatan
manusia ke-dewaan yang berusaha untuk mengumpulkan kesaktian-kesaktian. Ini
diwakili oleh kaum Taois dari Tao Chiau dan sementara kaum Brhmain
4.
Tingkatan
kaum Sravaka, yaitu siswa-siswa Hyang Buddha yang mendengarkan langsung
ajaran-ajaran Buddha dan berusaha untuk mensucikan diri. Ini diwakili oleh
Abhidharma-Kosa
5.
Tingkatan
kaum Pratya Buddhayana yang hanya menikmati hasil-hasil kesucian tetapi tidak
menghiraukan makhluk lain
6.
Golongan
yang menganggap bahwa Ekayana adalah hal yang nyata. Ini diwakili oleh kaum
Tri-sastra
7.
Golongan
yang mewakili kaum Dharmalaksana/Yogacara/Vijnanvada
8.
Ekayana
dari golongan Avatamsaka/Hua Yen Cung
9.
Ekayana
dari kaum T’ien T’ai.
10.
Vajrayana
dari Tantrayana[5]
Aliran Vinaya
Sekte Vinaya ini didirikan
di Tiongkok pada waktu dinasti T’ang abad ke-6 oleh bhiksu Tao Hsuan. Sesuia
dengan namanya, sekte ini sangat menitikberatkan pada kitab-kitab Vinaya. Sejak
agama buddha masuk ke Tiongkok pada abad ke 1 M sampai dengan abad ke-4 M,
belum semua kitab Vinaya ada secara lengkap sebagai pedoman bagi para bhiksu di
Tiongkok. Bhiksu Fa Hsien pergi ke India melalui jalan darat dengan berjalan
kaki dan kembali ke Tiongkok melalui Srilanka dengan kapal laut (399-414 M)
untuk mengambil kitab-kitab viyana.
Kitab- kitab suci Vinaya dalam
bahasa sansekerta dijadikan sebagai pedoman mereka :
1. Brahmajala Sutra (Fan Wang Ching) terjemahan Kumarajiva tahun 406 M sebagai
kitab pedoman utama.
2. Catuh Vinaya (empat disiplin) yaitu :
-
Mahasanghika Vinaya (Ta Seng Che Lu )
terjemahan Buddhabandra (405 M ) dalam bahasa mandarin sebanyak 40 jilid
(Chuan)
-
Sarvastivada Vinaya (Se Th’ung Lu) terjemahan
punyatara (404-406M) dalam bahasa mandarin sebanyak 61 jilid,
-
Dharmagupta Vinaya (She Fen Lu ) terjemahan
Buddhayasa (405 M) dalam bahasa mandarin sebanyak 60 jilid,
-
Mahisaka Vinaya (U Pu Lu ) terjemahan
Buddhajiva (423 M ) dalam bahasa Mandarin sebanyak 30 jilid.
Pratimoksa
dalam aliran Mahayana adalah berdasrakan Dharmagupta Vinaya (She Fen Lu) berisikan
250 pasal, dan disebut juga Vinaya empat bagian (She Fen Lu), sedangkan
peraturan Bodhisattva Sila berdasarkan Brahmajala Sutra berisikan 58 pasal.
Sekte Vinaya ini juga berkembang sampai ke Jepang dan korea. Tahun 754, bhiksu
Ch’ien Chen datang ke Nara – jepang mengajarkan Vinaya kepada para bhiksu jepang.
Sekte Vinaya ini adalah aliran Mahayan yang didirikan di Tiongkok.
Sikap seorang Bhikkhu yang menjalankan
vinaya dengan teguh tanpa melakukan pelanggaran-pelanggaran apapun, dinamakan
sikap berhati-hati. Seringkali disebut vinaya mengenai bhikhhu-bhikkhu yang
bersifat hati-hati, yang tidak akan menerima sesuatu benda sebelum diizinkan
oleh Sang Buddha. Di samping itu seringkali disebut juga bhikkhu-bhikkhu yang
sedikit kebutuhannya, yang merasa malu melihat kelakuan para bhikkhu lainnya
yang kurang patut atau tidak berhati-hati. Disini, tampak sekali hubungan yang
penting antara Dharma dan Vinaya. Dalam sikap berhati-hati dan
sedikit kebutuhan itu terdapatlah sejumlah sikap batin yang baik dan bermanfaat
bagi pelaksanaan Dharma, antara lain hiri
dan ottappa. Sedikit kebutuhan
berarti pula puas dengan seadanya’ (santutthi),
suatu sikap yang sangat berharga bagi seorang bhikkhu.
Sikap batin lain yang
sangat penting dalam sikap berhati-hati dan kesederhanaan itu ialah satti (sadar,eling), yang merupakan landasan bagi latihan di tingkat pencapaian
batin manapun juga. Dengan kesadaran, betapapun banyaknya peraturan tentu akan
dapat dipelihara atau ditaati sebaik-sebaiknya. Bahkan kesadaran (sati) akan menjaga pikiran kita dari
unsur-unsur yang merugikan. Sikap tidak berhati-hati menunjukan tiadanya
pengendalian diri, tiada kesadaran (sati).
Mungkin juga tiadanya hiri dan ottappa. Sering pula terdapat
nafsu-nafsu (tanha) yang tidak
disadari, keangkuhan (mana) tidak mau
menempatkan diri di bawah vinaya atau pandangan salah yang seringkali menyertai
keangkuhan dan membuat bermacam-macam alas an untuk tidak melaksanakan vinaya.[6]
Sang Buddha menetapkan vinaya bagi para bhikkhu dan bhikkhuni,
samanera dan samaneri adalah untuk :
1
kebaikan
Sangha (tanpa vinaya, eksistensi Sangha tidak akan bertahan lama)
2
kesejahteraan
Sangha (sehingga bhikkhu akan sedikit mendapat rintangan dan hidup damai)
3
mengendalikan
para bhikkhu yang tidak teguh (yang dapat menimbulkan persoalan dalam Sangha)
4
kesejahteraan
bhikkhu yang berkelakuan baik (karena pengamalan sila dengan baik menyebabkan
kebahagiaan hidup sekarang ini)
5
melindungi
dari atau melenyapkan kilesa
(kekotoran batin) yang telah ada
(karena banyak kesulitan dapat diatasi dengan perilaku moral yang baik)
6
mencegah
timbulnya kilesa yang baru (kilesa tidak akan timbul pada orang yang
memiliki sila yang baik)
7
memuaskan
mereka yang belum puas dengan Dharma (karena orang yang belum mengenal dharma
akan puas dengan tingkah laku bhikkhu yang baik)
8
menambah
keyakinan mereka yang telah mendengar Dharma (karena orang yang belum mengenal
Dharma akan bertambah kuat keyakinannya melihat bhikkhu yang baik)
9
menegakkan
Dharma yang benar (Dharma akan bertahan lama bila vinaya dilaksanakan dengan
baik oleh bhikkhu)
10
manfaat
vinaya itu sendiri (vinaya dapat memberikan manfaat kepada makhluk-makhluk,
terbebas dari samsara)
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti H.A. Agama-Agama Di Dunia,
Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998. Desa Kausalya karma sutra (Dharma
Pitaka), Bogor-Jawa Barat 2008
T, Suwarto. Buddha Dharma Mahayana, Jakarta : Majelis Agama Buddha
Mahayana Indonesia,1995. Cet pertama : Palembang (Sriwijaya) April 1995
Conze,Prof. Buddhist Thought in India: T.R.V.Murti, 1995
Tanggok , M. Ikhsan Agama Buddha, Jakarta : uin Press, 2009.
Lembaga penelitian UIN Jakarta. Cet-1, Jakarta, 2009